[20] : |Heven|

540 15 0
                                    

"Sayang, bangun dong." Ucap Mamaku dengan lembut sembari merapikan rambutku yang berantakan.

"Lolli mana?" tanyaku dengan mata setengah terbuka.

"Sudah pulang. Ayo bangun."

"Bentar, Ma."

"Kamu udah dijemput." Aku langsung membuka mata dan terduduk saking kagetnya.

"Kan aku gak janji sama Prisma?!"

"Bukan Prisma." Balas Mamaku dengan bingung.

"Siapa? Reddy? Iya, Ma?" tanyaku kegirangan.

"Mama nggak tahu namanya."

Aku langsung mandi dan berpakaian rapi. Setelahnya meluncur ke ruang depan takut Reddy menunggu terlalu lama.

"Maaf Dy gue agak lam-" ucapanku terhenti saat wajah yang nampak bukan laki-laki yang kuinginkan.

"Pagi, Mira."

Entah aku harus bergerak bagaimana. Rasanya sendi-sendiku terkunci untuk saat ini. Laki-laki yang tidak kuharapkan kehadirannya justru terduduk tenang di sofa rumahku.

"Ngapain lo ke sini?" tanyaku ketus.

"Jemput lo." Jawabnya dengan santai.

"Hev, kita udah putus. Berarti gak ada apa-apa lagi. Kita udah putus." Dalihku dengan menekan kata putus.

"Gue tau Mir, gue ngecewain lo beberapa kali."

"Tuh sadar!"

"Ini kenapa ribut-ribut, Mira?" Mamaku tiba-tiba saja muncul di tengah percecokanku dengan Heven.

"Nggak ada apa-apa, Tante. Ya udah, saya ijin nganter Mira sekolah ya, Tan?"

"Iya. Hati-hati, ya?"

Aku dan Heven langsung bersalaman dengan Mama. Setelah Heven keluar dari pintu, Mama mengelus punggungku dengan lembut.

"Kalau ada masalah jangan dibuat ribut. Bicarain baik-baik."

"Iya Ma." Aku langsung bergegas keluar dan menemui Heven.

"Gue ikut lo cuma sampai depan. Habis itu gue naik angkot." Aku segera memakai helm dan naik di jok belakang motor Heven. Aku melambaikan tangan pada Mama dan motor mulai melaju.

Apa yang kuperintahkan rupanya tidak ditanggapi oleh Heven. Ia tidak menurunkanku malah mempercepat laju motornya. Aku berteriak tepat di telinganya agar ia mau menurunkanku. Tapi yang kudapati hanya tawaan dari Heven. Ah, andai saja ia masih bersamaku. Mungkin suara itu masih menjadi favoritku.

Sepanjang jalan aku melamun hingga tak sadar kami sudah sampai di SMA Pancasila. Aku segera turun dan berlalu. Namun Heven kembali membuka suara dan membuat langkahku terhenti.

"Gue emang bodoh Mir ngelepas lo. Gue emang nggak berguna Mir nyia-nyiain lo. Tapi gue cukup tahu diri buat hati lo suka sama gue. Lagi."

Hampir saja air mataku menetes. Tapi aku tahan. Untuk apa menangisi laki-laki yang doyan bermain hati.

Aku tak berbalik. Apa yang diucapkannya memang benar. Ia bodoh. Ia tak berguna. Dan cukup tahu diri memang harus ia tekankan. Karena selamanya hati yang rusak tak bisa diperbaiki sesaat dan mungkin menimbulkan sesuatu yang lebih sesak.

**********

Kata Nathan mantan itu manis di ingatan. Tapi menurutku salah. Yang benar mantan itu manusia setan.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang