[26] : |Don't Care|

499 17 0
                                    

"Dy,"

Yang kupanggil akhirnya menoleh.

"Ada apa?"

"Lo kemana aja?" tanyaku sambil menggaruk tengkuk leherku. Bukan gatal namun bingung mau mengucapkan apa.

"Gue sibuk ngurusin pergantian jabatan OSIS. Kenapa?" tanyanya balik kepadaku.

"Nggak. Semangat!"

Reddy hanya tersenyum tipis dan kembali berjalan. Namun baru saja ia berbalik ia sudah memanggilku lagi. Aku mendekat ke sampingnya.

"Apa?"

"Nomor gue ganti. Kemaren gue udah WhatsApp lo tapi nggak lo bales."

Aku menepuk jidatku. Aku lupa bahwa ada nomor yang tidak kukenal masuk ke ponselku dan tidak kutanya siapa dia.

"Maaf, Dy. Gue lupa."

"Iya nggak apa-apa. Lain kali ingat. Kalau hidung lo nggak nempel mungkin lo sering lupa itu hidung lo taruh mana." Ucapnya dan mengusap puncak kepalaku.

Ah, rasanya manis sekali. Seakan hal yang kemaren kulihat hanyalah semu belaka. Ingin marah namun rasa marah tersebut menguap digantikan rasa manis yang datang.

"Iya, Dy. Makasih, ya?"

"Hm."

Reddy kembali berjalan dan sibuk dengan kegiatannya. Kulihat punggung yang menjauh itu seperti sudah lelah dengan beban yang ditanggungnya selama ini. Menjadi ketua OSIS SMA Pancasila tidaklah mudah. Banyak acara besar yang membutuhkan perhatian besar hingga persiapannya berbulan-bulan. Dan Reddy mampu menjalankannya hingga tak ada cacat sama sekali di tahun jabatannya. Reddy-ku memang keren.

Aku tersenyum dan berjalan ke kelas Lolli. Waktu istirahat masih sepuluh menit lagi. Aku ingin menemui Lolli dan bertanya mengapa ia tidak berkomunikasi denganku.

"Lolli!"

Aku berteriak ketika melihat Lolli keluar dari kelasnya. Bukannya menyapa balik ia malah berjalan menjauhiku. Aku mengejar dan menahannya dari depan.

"Kenapa sih, Lol?"

"Lo pasti punya otak, 'kan? Nah, pikir aja sendiri." Balasnya ketus.

"Lol, lo marah?"

"Gue masih bisa cari temen yang mukanya cuma satu. Nggak sok polos tapi mukanya ada dua sisi yang nggak pernah gue ketahui." Lolli menghempaskan rentangan tanganku dan kembali berjalan.

"Lolli! Lo kenapa, sih?! Gue salah apa?!"

Aku bahkan berteriak agar Lolli berhenti. Namun apa yang kulakukan sia-sia. Lolli benar-benar marah denganku. Aku tak mengerti dengan apa yang diucapkan Lolli tadi. Muka satu? Dua sisi? Sok polos? Ah, aku bingung memikirkannya.

Aku kembali ke kelas saat bel masuk dibunyikan. Sampai di bangku aku menoleh ke belakang. Tak ada Prisma. Prisma tidak masuk tanpa surat. Kuhubungi juga tidak diangkat. 

"Kenapa semua ngindari gue?"

Tiba-tiba sebuah roti melayang di pangkuanku.

"Ngajak ribut, lo?" tantangku pada Jorgy. Aku sudah hafal jika masalah roti selalu berasal dari Jorgy.

"Lo tadi nggak ke kantin makanya gue kasih lo roti gratis."

"Lo kemasukan? Tiba-tiba perhatian sama gue."

Jorgy mendekat ke arah bangkuku dan duduk di meja sebelahku.

"Prisma khawatir sama lo. Lo punya maag. Kalau lo belum makan, maag lo bisa kambuh. Puas?"

Rasa kesalku pada Jorgy menghilang digantikan rasa sedih yang datang. Aku tersenyum pada Jorgy.

"Makasih, Jor. Bilang ke Prisma, dia udah makan dan sekarang sehat, Mira juga nyuruh lo buat jaga kesehatan."

"Iya." Balasnya cuek. Aku tertawa melihat raut wajah Jorgy.

"Sejak kapan gue jadi comblang kalian berdua?"

"Mulutnya dijaga! Gue denger!" teriakku ketika Jorgy mengomel saat berjalan ke bangkunya.

**********

Jaga kesehatan. Karena merindukanmu juga butuh asupan.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang