"Hhhhhhhh...."
Suaraku dan Heven memenuhi setiap jalan kutapaki. Sejak turun dari motor, Heven sudah membuatku tertawa lepas yang jarang kutunjukkan pada siapapun.
"Yah jatoh!" Pekikku ketika es krim yang ada di tanganku terjatuh.
"Beli lagi?" tawar Heven yang langsung kuangguki. Heven menyuruhku duduk di kursi sebuah taman dan ia kembali membeli sebuah es krim.
Entah kenapa bersama Heven seakan memutar balik fakta akan kata kita telah tiada. Mengapa juga dulu ia tak semanis sekarang. Sungguh beruntung Clara.
Ah, iya. Aku akan cerita ke Heven perilaku Clara di luarnya. Ia justru bersama laki-laki lain—Reddy.
"Ngelamun aja,"
Aku mendongak dan menemukan Heven bersama es krim di tangan kanannya. Aku segera mengambilnya.
"Makasih, Heven."
Aku segera membuka dan melumatnya. Bahkan saking menikmatinya aku tak melihat bahwa Heven melihatku sedari tadi di sampingku.
"Ra,"
Aku terdiam. Sapaan yang dulu digunakan Heven untuk memanggilku. Aku mendongak menatapnya.
"Maaf ya gue udah jahat sama lo. Selingkuh sama orang lain. Tapi sejujurnya gue ada alasan kenapa gue bisa sama Clara. Lo mau tahu?"
"Nggak. Kita hari ini cukup senang-senang. Jangan bahas yang dulu. Gimana?" aku sengaja tidak ingin membahas hal yang menyakitkan itu. Padahal dalam hatiku aku sangat penasaran akan hal itu. Aku kembali menggigit es krim dan bersandar pada bahu tegap milik Heven.
"Nggak, Ra. Lo harus tahu. Jujur sebenarnya gue nggak mau kehilangan lo. Gue sayang sama lo. Tapi ada masalah besar yang jalan salah ini harus gue ambil. Papa gue selingkuh sama mamanya Clara. Mama gue nggak tahu dan gue nggak mau sampai Mama tahu. Gue bingung harus gimana. Dan saat tahu kalau selingkuhan Papa punya anak cewek, gue punya pikiran buat dapetin Clara supaya bisa ngehalangin hubungan Papa sama Mamanya Clara. Setelah dapetin Clara, gue malah kehilangan lo. Tapi gue pantes kog lo tinggalin. Karena gue nggak baik buat lo. Lo harus cari yang lebih baik dari gue yang sampah ini."
Aku masih mendengarkan apa yang diucapkan oleh Heven. Mataku memanas sejak tadi. Gagal sudah menahan air mataku yang sejak tadi terkumpul di kelopak mata. Aku terisak.
"Ra, gue minta maaf, ya?"
Aku masih diam dan terus terisak. Aku harus bagaimana? Selama ini aku sudah menyalahkan Heven ribuan kali. Sudah banyak umpatan yang aku rapalkan padanya. Nyatanya aku yang jahat di sini. Tidak mengerti apa yang Heven rasakan saat itu.
Heven merangkulku dari samping. Aku kembali bersandar di bahunya.
"Lo pacar pertama gue, Ra. Dan lo mantan pertama gue. Sesuatu yang pertama akan menjadi kenangan manis sepanjang masa. Gue harap kita masih bisa akrab seakan nggak ada masalah di antara kita."
Aku memeluk tubuh Heven. Aku menangis di dada bidangnya.
"Nangis aja nggak apa-apa selagi itu bikin lo tenang." Ucapnya sambil mengelus punggungku.
Cukup lama aku terisak di rengkuhan Heven hingga aku sempatkan mendongak untuk menatap sorot matanya dari bawah.
"Heven,"
"Iya?"
Aku keluar dari pelukan Heven dan menyeka air mataku.
"Lo bener-bener mencintai Clara sekarang?"
"Iya."
"Lo tahu apa yang dilakukan Clara tanpa lo?" tanyaku lagi. Alis Heven bertaut dan menggeleng.
"Dia selingkuhin lo. Kemaren gue lihat dia sama Reddy."
"Reddy? Cowok yang waktu itu saat gu-"
"Iya! Clara manis banget sama Reddy. Lo tahu kan gue suka sama Reddy. Kenapa semua orang yang gue suka selalu ada hubungan sama Clara?!"
Aku kembali menangis. Heven kembali memberi pelukan hangat.
"Biarin."
"Kenapa sesantai itu?!" jeritku di dalam pelukan Heven.
"Gue tahu lo nggak suka sama Clara. Tapi gue mohon jangan benci sama dia. Kalau emang Reddy pilihan Tuhan buat lo, pasti ia akan tetap milih lo meski ia punya pilihan yang lebih dari lo. Yakin itu." Ucapnya dengan tenang di telingaku.
"Makasih Heven udah bantu gue di saat sahabat-sahabat gue ngejauhin gue."
Ia menjauhkan aku dari tubuhnya. Ia memengang kedua pundakku dan melihatku dengan tatapan elangnya.
"Jauhin lo? Maksudnya gimana?"
"Iya. Loli dan Prisma jauhin gue. Lolli selalu bilang kalau dia nggak mau temenan sama temen yang nusuk dia dari belakang. Sedangkan Prisma selalu marah dan bentak gue ketika bicara. Gue nggak ngerti mereka." Aku berusaha mati-matian menahan air mata untuk keluar. Lagi.
"Mungkin mereka cuma butuh waktu aja, Ra. Mereka ngelakuin gitu pasti ada alasannya. Lo tenang aja. Masih ada gue yang selalu ada buat lo sebagai sahabat. Lo mau kan nerima gue jadi sahabat lo?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku kembali memeluk Heven. Biarkan aku kembali melakukan rutinitasku dulu. Karena hanya hal ini yang membuatku tenang saat ini. Terima kasih sudah hadir di hidupku. Terima kasih telah mengisi hatiku dulu. Terima kasih masih peduli padaku. Sekali lagi, terima kasih Heven.
**********
Hati harus selalu siap.
Siap jatuh.
Siap patah.
Siap berbahagia.—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...