[46] : |Datangnya Nenek|

417 15 0
                                    

"Assalamualaikum, Tante!" seruku ketika wajah cantik alami Tante Azma muncul. Aku di sini, di rumah Prisma karena malam ini aku akan mengerjakan PR dibantu Prisma.

"Masuk, Sayang. Prisma udah nungguin dari tadi. Di ruang tengah sama Debby dianya." Kekeh Tante Azma sambil menuntunku masuk ke dalam.

Aku memang sering ke sini, tapi aku masih punya sopan santun sehingga Tante Azma selalu memberlakukan aku selayaknya tamu agung yang patut dilayani dengan sepenuh hati. Bukan seperti Prisma yang suka nyelonong ketika masuk ke dalam rumahku. Itu memang perintah Mama untuk menganggap seperti rumah sendiri. Tapi keterlaluan menurutku; tak pernah mengetuk pintu, asal masuk ketika ketemu orang yang punya rumah, baru mengucapkan salam. Dasar!

"Eh, Ra? Lama banget sih kamu. Lihat bukuku udah jadi sasaran empuk Debby buat dicoret-coret, tuh!" gerutu Prisma ketika melihat aku datang. Tante Azma langsung menuntun Debby berdiri agar tidak mengganggu belajarku dengan Prisma.

"Maaf, Pris. Lagian tadi gue supermarket dulu buat beli minuman ini." Balasku sambil menunjukkan plastik yang aku tenteng sejak tadi.

"Yaudah, duduk sini. Ayo langsung dikerjakan. Aku cari referensi, kamu ngetik."

"Gue?!" tanyaku terkejut.

"Tunggu-tunggu." Aku dan Prisma menghadap ke sumber suara. Ternyata Tante Azma masih di sampingku.

"Kenapa logat kalian kayak aneh, ya? Tadi Prisma logatnya aku-kamu, terus Mira cantik logatnya gue?" selidiknya. Aku dan Prisma saling berhadapan dan setelahnya kembali menghadap Tante Azma. Aku tersenyum kikuk dan mencoba membuka suara karena Tante Azma belum juga pergi.

"Kita it-"

Aku dan Prisma kembali berhadapan. Kenapa bisa bareng, sih?! Pekikku kesal dalam hati.

"Kamu dulu."

"Lo dulu." Silakanku pada Prisma.

"Kamu."

"Lo."

"Kamu, Sayang."

Deg

Aku tak membalas. Aku menutup bibirku rapat. Aku menatap tatapan Prisma yang begitu dalam melihatku.

"E... maaf ya Pris, Tante jadi ganggu kamu sama Mira. Yaudah nggak usah eyel-eyelan lagi. Kalian belajar aja." Aku mengangguk canggung dan tersenyum tipis pada Tante Azma.

Saat aku duduk dan mulai mengeluarkan buku dari totebag, Tante Azma kembali bersuara yang membuatku wajahku merah padam.

"Belajar sambil pacaran boleh. Tapi jangan macem-macem."

Prismaaaa!!!!!!!!!

Ingin rasanya aku menjerit kesal pada lelaki di hadapanku ini. Maunya dia apa, sih? Bilang begitu di depan Tante Azma. Bilangnya sayang tapi selama ini dia tidak mengungkapkannya perasaanya padaku. Itu alasanku beberapa hari lalu menangis. Prisma memberiku harapan yang sangat besar. Tapi tak pernah memberiku kepastian.

"Lo aja yang ngetik, gue cari referensi. Ini tugas banyak loh, nggak kasihan kalau tangan gue nanti ini keriting?" cobaku memohon pada Prisma. Ia diam dan menggeleng.

"Harus mau!" tekanku.

"Nggak." Balasnya.

"Mau."

"Nggak."

"Mau."

"Nggak."

"Nggak mau."

"Tuh kan nggak mau! Aku tuh nggak mau kalo ngetik. Maunya aku cuma lihat wajah kamu kayak gini." Ucap Prisma sambil menopang dagunya menatap wajahku dan tersenyum sok manis. Aku terkikik geli.

"Receh, lo!" ucapku sambil melempar kulit kuaci—sisa Debby tadi— pada wajah Prisma.

Prisma tertawa sebentar kemudian mulai membuka laptopnya dan ditujukannya padaku. Aku menurut untuk mengetik. Kan tadi memang aku yang kalah saat berdebat. Aku mulai fokus mengetik dan tanpa sadar wajah Prisma berada di belakang laptop menatapku lekat-lekat.

"Ra?"

"Hmm,"

"Kamu makin lama makin cantik deh." Jari-jemariku berhenti menekan tombol di benda pipih tersebut. Aku mendongak dan menemukan Prisma yang menopang dagu di atas meja. Duduk kami berseberangan sehingga ia terlihat bebas melihatku.

"Gausah gombal deh. Tuh! Referensinya masih kurang. Cari lagi sono!" perintahku. Itu sebenarnya alibiku agar aku tak terlihat salah tingkah dipuji seperti itu. Aku kembali mengetik.

"Aku sayang kamu, Ra."

Deg.

Apa aku sedang mimpi? Apa Prisma tadi menyatakan perasaannya padaku? Apa aku salah dengar?

Aku sayang kamu, Ra.

Aku sayang kamu, Ra.

Aku sayang kamu, Ra.

Ucapan itu menggema di telingaku dan mengisi pikiranku. Aku terdiam dan masih menatapnya terkejut.

"Aku cinta sama kamu, Jihan Amira Mumtaza." Ulang Prisma sambil menyebut namaku lengkap. Aku masih terperangah tak percaya. Detik masih berputar dan aku masih belum bisa bergumam sedikitpun. Hingga sapaan dari seseorang membuatku dan Prisma menoleh ke  sumber suara.

"Nenek?" Prisma terlihat sangat terkejut.

"Kamu masih ingat, kan?"

"Nggak!" bantah Prisma lalu melenggang pergi meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang bergelayutan di kepalaku.

**********

Ingin rasanya aku menghentikan waktu agar kamu selalu mengatakan bahwa kamu mencintaiku.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang