[16] : |Terbang Namun Jatuh|

631 18 0
                                    

Aku sudah menghabiskan beberapa lembar tisu hanya karena melihat sinetron yang menyedihkan. Di depan televisi aku memang cengeng.

"Mama mau ke mana?" tanyaku ketika melihat Mama berparas rapi.

"Ke pasar. Nanti Kak Ivan pulang mau dimasakin sop buntut."

"Siang-siang gini? Memang merepotkan seorang Ivanda Zeinly." Ucapku.

Mamaku hanya menggeleng dan berlalu tak menggubrisku. Kak Ivan kuliah di Jakarta dan hanya pulang sesekali ketika rindu dengan Mama. Denganku? Tidak. Sedangkan Papaku seorang pengusaha batu bara di Kalimantan. Beliau malah jarang sekali pulang karena memilih menetap di sana.

Aku menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka. Prisma. Aku kembali sibuk dengan sinetronku.

"Korban lagi, Buk?" tanyanya dan langsung duduk di sampingku.

"Masuk rumah orang bukannya salam malah ngelonyor aja." Sindirku.

"Kata Tante Ratih suruh anggap rumah sendiri."

Oke. Aku tak mau membicarakan hal ini. Prisma sedang punya mood berdebat hari ini.

"Itu cewek gimana, sih? Nggak peka-peka. Si cowok udah nyatain perasaan berkali-kali dianggap lucu mulu. Kalau nggak suka ya nggak usah dibaperi dong!" omelku fokus pada para aktor dan aktris yang membintangi sinetron.

"Ya biarin dong, Mir. Yang cowok kan masih suka. Makanya cowoknya sabar. Dia rela nunggu si cewek peka dan ngerti perasaannya."

"Ya tapi itu terlalu sabar!" aku ikut emosi sendiri.

"Udah-udah. Em, Mir?"

"Iya?" jawabku dengan tetap fokus pada layar persegi di depanku.

"Lo udah mendingan kan daripada kemaren?"

Aku terdiam. Hatiku masih belum bisa dikatakan baik. Meski aku dan Heven sudah putus, namun melihat kelakuannya di luar seperti itu, serasa malu sendiri aku.

"Lumayan."

"Udah. Nggak usah dipikir lagi. Pikir aja gue." Kata Prisma dengan enteng.

"Kog lo?" tanyaku.

"Iya. Gue bingung ikut Nenek atau Tante Azma."

Aku menghembuskan napas pelan. Kukira.

"Kemaren saat Heven tanya yang mau sama gue, kenapa lo ikutan jawab juga?" akhirnya aku bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang tersangkut di hatiku.

"Ya kan lo prioritas gue." Jawab Prisma sembari makan kuaci yang memang aku buat camilan tadi.

"Ha?" aku terkejut dengan jawaban Prisma.

"Bukannya lo yang bilang sendiri. Sebagai temen harus bisa saling bantu. Saling nutupin masalah. Nggak begitu?" tanyanya balik.

Jatuh lagi. Akhir-akhir ini aku tak pernah mengerti dengan jalan ucapan Prisma. Semakin aneh dan sulit ditebak.

"Iya. Eh, tapi katanya lo betah di Bandung. Kenapa sekarang malah bingung?"

"Iya. Ada hal lain." Jawabnya singkat.

"Kalau boleh tahu, apa alasan lo betah di Bandung?" tanyaku lagi. Aku menghadap Prisma sepenuhnya karena sinetron terjeda iklan.

"Karena ada orang yang gue sayang."

Prisma berkata begitu saat aku minum es teh buatanku. Otomatis tersedak karena bingung.

"Kalau boleh tahu siapa emang?"

Jiwa kekepoanku muncul.

"Ada." Prisma sibuk dengan mengupas kuaci.

"Siapa?"

"Lo,"

Aku bungkam seribu bahasa. Baru ingin bertanya, Prisma sudah kembali bicara.

"Sama Tante Azma, Debby, Om Salim, Tante Ratih, Kak Ivan, Pak Dun. Semuanya gue sayang. Makanya gue betah di sini."

**********

Seperti parasut mainan. Itulah perasaanku sekarang. Yang diterbangkan untuk dijatuhkan.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang