Suasana makan malam ini terasa istimewa karena bertepatan dengan ulang tahun Kak Ivan. Segala macam masakan dan kudapan tersaji dengan nikmat di meja makan. Saking banyaknya, aku bingung sendiri ingin makan yang mana.
"Selamat ulang tahun, putra Mama!!" semua terkejut ketika Mama membawakan sebuah kue yang cukup besar dari arah dapur. Lilin yang berada di atas kue membentuk angka 21. Kak Ivan bahkan sampai menganga karena sangat senang. Pasalnya Kak Ivan baru kali ini merayakan ulang tahunnya dengan Papa. Kalau aku sudah beberapa kali karena ulang tahunku saat jadwal Papa pulang ke Bandung.
"Happy brithday to you... happy brithday to you... happy birthday... happy birthday... happy brithday to you...." Aku mengawali lagu itu dan langsung disambung oleh Mama dan Papa. Lalu aku lanjut dengan lagu tiup lilinnya serta potong kuenya.
Setelahnya Mama mencium puncak kepala Kak Ivan dan memeluknya. Papa juga melakukan hal yang sama. Aku hanya memeluknya.
"Udah tua aja ya aku?"
"Iyalah! Udah 21 tahun aja kamu! Makanya cepet cari pasangan terus buatin Mama sama Papa cucu." Aku dan Kak Ivan tersedak karena Mama bicara begitu di saat kami minum. Aku karena ingin tertawa dan Kak Ivan yang menahan rasa kesalnya dengan Mama.
"Habis dapet jodoh, nikah dulu, Ma. Jangan asal buat." Ralatnya pada ucapan Mama.
"Masa kamu kalah sama adik gadis kamu?" sindir Papa pada Kak Ivan.
"Aku?" tanyanya memastikan. Aku sama sekali tak mengerti apa yang Papa ucapkan.
"Kan kamu udah ada Prisma. Nah Kakak kamu masih betah banget sama status jomblonya." Kekeh Papa.
Aku terdiam. Hanya tersenyum tipis pada Papa lalu menunduk.
"Hai, Pris!"
"Hai, Bang! Happy Brithday, Bang! Udah tau aja lu Bang!"
Aku melotot tak percaya ketika mendengar suara Prisma. Aku menengok pada Kak Ivan yang ternyata video call dengan Prisma. Tanganku ingin sekali merebut ponsel itu tapi hatiku berkata lain. Aku harus menahannya. Prisma pasti masih marah denganku.
"Makasih adek ipar."
"Apaan sih, Bang. Om Erdun! Pak Dun!!" Kak Ivan segera menyerahkan ponselnya kepada Papa dan Mama.
"Waduh! Ini muka kenapa tambah ganteng aja, Prisma!! Om pangling lo!"
"Pris, gimana kabarnya Tante Azma dan yang lain? Oh ya, Debby mana Debby?" tanya Mama dengan wajah rindunya dengan Debby.
"Debby udah bobo sama Tante."
Mereka asik berbincang entah apa saja. Aku menghela napas pelan lalu mencoba menyibukkan diri dengan menyentuh ponsel.
"Mama! Yang pacarnya siapa yang bicara terus siapa?" sindirnya. Aku hanya mendongak kaku pada Kak Ivan.
Papa langsung menghadapkan kamera di depan wajahku. Terpampang wajah Prisma di sana dengan wajah terkejutnya juga. Aku masih terdiam. Ingin sekali aku memeluknya tapi mana mungkin?
"Eh, ngomong dong! Kemaren-kamaren aja rindu banget sampe ngigo-ngigo panggil Prisma." Aku melotot pada Kak Ivan karena dia sudah menceritakan hal itu.
"Apa kabar?"
Suara itu kembali membuatku menatap wajah yang berada di layar ponsel.
"Ba-ba-baik." Balasku gagap.
"Lo?"
"Baik." Jawabnya singkat.
"Om Erdun," ponsel itu kembali menghadap Papa ketika Prisma memanggil namanya.
"Om, maaf ya, saya dipanggil Tante Azma."
"Oh iya iya, silakan."
"Maaf ya, Om." Ucap Prisma lalu dibalas anggukan Papa dan percakapan itu habis.
"Kamu kenapa diam aja lihat Prisma? Bukannya kamu selama ini pengen liat Prisma?" pertanyaan Mama membuatku sedikit terlonjak lalu menampilkan senyum receh kuteruskan tertawa.
"Kenapa kamu, Mir?"
"Iyalah, pengen banget ketemu Prisma. Tapi nggak sekarang. Sekarang kita potong kuenya dulu, aku udah ngiler nih. Masa cuma nyanyi dong kagak dipotong itu kue. Kan sayang." Omelku agar tak ada lagi yang membahas Prisma. Dengan kata lain, aku mengalihkan perhatian mereka.
Mama dan Kak Ivan segera cepat-cepat memotong kue dan saling menyuapi satu sama lain. Aku tersenyum. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan membuka ruang pesan di sana. Hanya tercantum teman-temanku yang lain, tak ada Prisma.
Entah keberanian dari mana, aku mengetik pesan pada Prisma.
Pris
Pesan itu langsung terbaca namun tak mendapat balasan. Mataku sudah memanas. Aku tak bisa lagi menyembunyikan segalanya. Aku kembali mengiriminya pesan yang pada akhirnya sama-sama terbaca namun tak ada tanda-tanda balasannya.
Aku rindu.
Sangat rindu.
I miss u
**********
Mengaku saja tak apa, barangkali di sana ada jawabnya.
—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...