"Bisa nggak sih jalan sendiri-sendiri? Di belakang gue atau di depan gue gitu." Ucapku kesal pada Prisma karena ia berjalan di sampingku.
"Kalo di belakang kaya pengawal. Kalo di depan kaya imam. Tapi kalo di samping bisa dua-duanya." Balas Prisma sambil terkekeh.
"Nggak jelas, lo!" Aku pun ikut tersenyum sambil memukul bahunya.
"Lo kog pukul gue?? Gue nggak terima. Lo juga harus kena pukul. Sini!"
Aku setengah berlari di koridor. Menjulurkan lidah pada Prisma yang mengejarku dengan langkah besarnya.
Dug
Mataku mengerjab beberapa kali. Tangan besar itu menahanku agar tidak terjatuh.
"Lain kali kalau jalan lihat depan."
Suara familiar itu membuatku segera sadar dan tegak berdiri. Aku menunduk dan menghadap Prisma yang tak jauh dariku di belakang. Dia menatapku entah dengan tatapan apa di sana. Aku tak mengerti.
"I-iya. Makasih, Dy." Ucapku hati-hati.
Reddy hanya mengangguk lantas pergi. Ah! Rasa malu itu kembali muncul. Ingin benci tapi untuk apa? Di sini aku juga yang salah, bukan Reddy."Ciee... yang habis tabrakan sama mantan calon pacar... ciee...."
"Apa-apaan sih, Pris? Gue nggak suka!" kataku sinis lalu pergi meninggalkan Prisma. Tangan Prisma tiba-tiba menarik lenganku sehingga aku kembali menghadapnya dalam rengkuhan dia.
Apa-apaan ini? Kenapa jantungku seperti berloncatan sana-sini? Jarak kita cukup dekat. Eh, bukan. Sangat dekat. Bahkan napas Prisma sampai menerpa pipiku dengan lembut. Matanya yang hitam mampu menyihirku. Ternyata Prisma lebih tampan dari Pangeran di belahan dunia manapun. Aduh! Perasaan apa lagi ini?
Kepala Prisma semakin merendah. Apa yang akan ia lakukan? Aku sudah gugup setengah mati. Apa dia akan.... Ah! Mana mungkin! Tapi gerakannya yang lambat membuatku semakin penasaran apa yang akan ia lakukan.
"Kalian sedang apa?"
Aku langsung keluar dari rengkuhan Prisma. Begitupun Prisma, dia langsung melepas tangannya yang menempel di pinggangku.
"Eh, Bu Suk." Sapa Prisma sambil menampilkan sederetan giginya yang bersih.
"Bu Sukma! Kamu itu ya! Tadi kalian ngapain?!" suara Bu Sukma yang cukup nyaring membuat anak-anak yang di koridor lain menatap aku dan Prisma.
"Nggak ngapa-ngapain kok Bu." Bantahku dengan cepat.
"Awas ya kalian! Jangan macem-macem!"
"Belum kok, Bu!" Sanggah Prisma dengan cepat.
"Baru mau." Tambahnya dengan suara pelan. Aku otomatis terlonjak dan malu sendiri.
"Kamu itu ya!"
"Canda, Bu! Bercanda doang!" ucap Prisma seraya jarinya membentuk huruf v ke udara.
"Cepet masuk kelas! Dua menit lagi bel masuk! Saya tinggal dulu, awas ya kalian!"
Setelah Bu Sukma pergi, aku segera memukul bahu Prisma. Bisa-bisanya bercanda dengan seorang guru. Lalu aku dan Prisma kembali berjalan beriringan menuju kelas.
"Rima gimana keadaannya?"
"Tumben tanya Rima. Biasanya aja nggak suka banget kalo gue bawa-bawa Rima. Kayak cemburu gitu."
"Gue sebagai kakak kelas yang baik berhak untuk tahu apa yang terjadi dengan adik kelasnya. Gak usah ge er lo!"
Kan! Aku salah tanya! Bodoh, Mir! Bodoh!
"Mir,"
"Hmm." Aku tetap berjalan sedangkan Prisma berhenti. Dua langkah setelahnya aku kembali mundur dan menghadap Prisma.
"Gue boleh tanya sesuatu?" Aku hanya mengangguk merespon pertanyaan dari Prisma.
"Semisal gue punya pacar, perasaan lo gimana?"
Aku mematung. Pertanyaan macam apa ini? Terus kenapa hatiku sesak begini?
"Menurut lo?" tanyaku balik.
"Gue nggak tahu makanya gue tanya sama lo."
"Kenapa lo tanya itu ke gue? Mau lo sama siapapun kan bebas." Hatiku rasanya teriris saat mengucapkannya. Sepertinya hati ini memang sedang error.
"Bukannya gitu. Gue takutnya lo baper sama gue. Lo cuma nganggep gue sahabat doang, kan? Nggak lebih, kan?"
Kenapa anak ini sangat santai dan tidak merasa bersalah atas perasaannya? Ah, rasanya aku ingin menangis. Pasti mataku sudah terlihat merah.
"I-iya." Jawabku sambil mengangguk.
"Baper pun gue juga ngerti batesan. Kalau lo pengen sama siapapun itu bebas. Memangnya apa hak gue? Gue bukan siapa-siapa lo." Tambahku.
"Bukannya gitu, Mir. Gue takut kalau seandainya gue sama A lo sakit hati. Makanya gue tanya sama lo, jangan-jangan lo punya perasaan ke gue. Kalau nggak ada kan enak, berarti nggak ada yang sakit hati." Terang Prisma.
"Lo kenapa sih, Pris? Gue nggak suka bahas ginian!"
"Gue tadi cuman tanya. Misalnya. Ya gue minta maaf kalau buat lo nggak nyaman."
Aku segera meninggalkan Prisma di koridor. Saat itu juga air mataku meluncur. Kenapa saat rasa itu mulai tumbuh, justru Prisma ingin menjauh? Lalu siapa yang salah? Hatiku. Hatiku yang salah. Terlambat akan menyadari tentang apa yang sedang terjadi.
**********
Kesimpulannya, aku sedang mencintaimu.
—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...