[15] : |Di SMA Bintang|

624 22 1
                                    

"Selamat bergabung di Gebyar Seni SMA 1 Bintang, Bandung. Selamat menyaksikan!"

Sorak sorai gemuruh terdengar begitu ramai di kanan kiriku. Aku hanya ikut tepuk tangan. Tak seantusias yang dilakukan oleh Lolli.

"Lo nggak suka, Mir?" tanya Prisma yang duduk di sampingku.

"Suka." Ujarku dengan senyum yang kupaksakan.

Aku terus menonton berbagai acara yang disajikan. Namun terus duduk berdiam diri di kursi penonton memang melelahkan. Akhirnya, aku ijin pada Lolli dan Prisma untuk ke toilet.

"Perlu temen?" tanya Lolli. Aku menggeleng.

Aku melangkah dan bertanya arah toilet pada salah satu OSIS yang bertugas menjaga jalannya acara di sana.

"Makasih ya, Kak." Ucapku sopan.

Hampir sampai di toilet, kakiku terhenti melihat apa yang ada di depan mataku. Aku bersembunyi di balik tembok.

"Clara, kamu marah?" ucap Heven sambil memegang tangan Clara.

"Ya iyalah. Kamu bilangnya mau ke sana, tapi malah foto sama anak SMA lain. Terusin aja gitu."

"Sayang, aku tadi beneran mau ke sana. Jangan cemburuan gitu lah." Bujuk Heven padanya.

Aku ingin koprol mendengarnya. Gen playboy memang sudah tumbuh dan mendarah daging pada tubuh Heven.

Untung sudah putus, pikirku.

Pembicaraan itu terhenti. Aku yang sebelumnya bersembunyi menyembulkan kepalaku pelan-pelan. Aku refleks kembali bersembunyi dan menutup mulutku agar tak berteriak. Air mata dari kedua kelopak mataku mengalir tanpa perintah. Jantungku serasa ditusuk ribuan jarum. Hatiku serasa disayat tipis ditetesi jeruk nipis. Sangat perih.

Apa yang Heven dan Clara lakukan menurutku kelewat batas untuk ukuran anak SMA. Mereka berciuman.

Setelah aku mendengar suara pamit dari Clara aku berlari ingin kembali pada Lolli dan Prisma. Namun tangan dingin menangkapku dari belakang.

"Sejak kapan lo di sini?" tanya Heven ketakutan sambil memegang kedua bahuku erat. Aku tak berani menampakkan wajahku karena air mataku terus mengalir. Aku terus terisak.

"Jangan bilang lo lihat hal tadi." Tambahnya. Aku terus menunduk dan menahan isakanku.

"Jawab, Mir!"

"Heven!"

Aku mendongak dan menemukan Ganis.

"Lo kenapa nangis? Lo apain Hev?!" tanya Ganis padaku dan setelahnya pada Heven.

"Diem, lo!" teriaknya.

"Mira?" suara familiar itu kembali terdengar. Reddy. Ia memang diundang di acara ini karena ia merupakan ketua OSIS.

"Siapa lagi lo?! Reddyka Warda? Oh, lo yang waktu itu ya?!" tanya Heven dengan suara tinggi.

"Iya. Kenapa? Udah nggak usah pegang-pegang!" ucap Reddy sambil mengibaskan tangan Heven dari tanganku.

"Ada apa ini?"

Prisma datang. Ia langsung berada di sampingku dan memelukku dari samping. Aku kembali menunduk.

"Banyak juga gebetan lo ya Mir?" ucap Heven dengan nada yang menyindir dan merendahkan.

"Cukup Hev! Cukup!" suara Ganis berngiang di koridor.

"Oh ya? Gue nggak percaya kalau salah satu dari kalian nggak ada yang suka sama Mira. Apa ada yang mau sama Mira, bekas gue?" tanya Heven dengan menekankan kata bekas.

Aku semakin terisak. Harga diriku serasa diinjak-injak oleh Heven di sini.

"Ada." Jawab Reddy dengan tegas.

"Siapa?" tanya balik Heven dengan nada merendahkan.

Lalu apa yang terjadi tak pernah kubayangkan selama hidupku. Aku tak memiliki ekspetasi setinggi ini. Reddy dan Prisma menjawab dengan tegas di hadapanku secara bersamaan.

"Gue."

**********

Aku tak pernah menyalahkan waktu. Karena yang salah adalah perasaanku.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang