"Mir! Amir!"
"Apa lagi sih?!" tanyaku kesal pada Prisma.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo." Ucapnya setelah jaraknya benar-benar dekat denganku.
Aku hanya melongo. Bingung sekaligus penasaran. Lalu aku segera bertanya apa yang ia ingin ucapkan.
"Gue sebenarnya ..."
Ah, cara Prisma mengucapkan seperti ingin membuatku cepat mati. Jantungku sudah berlombatan sana-sini.
"Mau nyontek PR sejarah."
"Hah?!" Aku segera menutup mulutku. Ah, kukira ia ingin mengatakan sesuatu yang sekarang ada di pikiranku. Nyatanya tidak.
"Kerjain sendiri aja! Gue semalem nggak tidur gara-gara kerjain itu PR. Enak aja lo tinggal nyontek." Omelku.
"Susi besar lagi sembelit. Dasar Amir pelit."
"LO NGATAIN GUE APA TADI?!"
"Aduh!!!"
Tak disangka Susi—siswi tergemuk kelas 12 IPS 2—yang baru datang dan tepat jalan di belakang Prisma langsung menjewer telinga Prisma. Aku hanya meringis ikut merasa kesakitan.
"Sorry ya Susi. Gue masuk ke kelas dulu. Oh ya, kalau mau menjewer itu kuping, silahkan dilanjut. Sekalian boleh dijewer di tengah lapangan kayak jemuran." Ucapku setengah tertawa.
"DASAR LO! ADUH!!!"
Prisma mengumpat dan aku segera berlari. Dari pertigaan koridor aku terus tertawa hingga tak sadar aku menabrak seseorang.
Reddy.
Lagi-lagi ia menolongku. Aku segera keluar dari rengkuhan Reddy dan meminta maaf lalu berlari menuju ke kelas. Malu? Sangat jelas.
"Hai Lol!" Sapaku riang pada Lolli yang baru saja dari toilet. Baru saja ingin berbincang pada Lolli ponselku bergetar.
"Jangan panggil Lol Mira!"
"Shutt!" ucapku pada Lolli yang ingin mengomelku. Aku menuju depan kelasku dan mengangkat telepon. Aku melihat ke arah tempat semula Lolli. Dia sudah hilang.
[Pagi, Mir.]
"Pagi, Ganis. Ada apa?" Ucapku dengan riang.
[Gue bingung mau cerita dari mana.]
"Lolli? Tenang aja. Selama ada gue masalah ini bakalan beres."
[Masalahnya nggak gampang, Mir. Gue mau cerita tapi WhatsApp gue di-block sama Lolli.]
"Sabar. Lolli emang orangnya kayak gitu."
[Gue baru ngomong gitu dia udah nangis duluan. Kekanakan banget dia.]
"Lolli emang kekanakan. Bedalah sama gue. Gue itu pemikirannya udah dewasa." Candaku sambil setengah tertawa.
[Iya. Lo emang beda sama Lolli. Lolli terlalu perasa sedangkan lo susah buat peka.]
"Ah elah ngajarin peka."
[Btw, Lolli ada di mana sekarang?]
"Di kelas. Mungkin."
[Gue boleh jadiin lo kelinci percobaan?]
"Jangan aneh-aneh lo! Gue santet online kalo lo aneh-aneh."
[Kagak lah. Gue mau coba bilang sesuatu. Dan lo jawab sebagai Lolli.]
"Asyiappp!" Jawabku dengan tertawa.
[Lolli, maafin aku ya? Aku kangen banget sama kamu. I miss you.]
"I miss you too, Ganis."
[Lolli, aku salah. Aku pengen kita saling mengalah buat hubungan kita ke depannya. Jadi di antara kita nggak ada kata egois. Kita saling membantu untuk terus bersama sampai nanti. Lolli, i love you.]
"I love you too, Ganis."
Aku terdiam sejenak setelah mengatakan tiga kata tersebut. Aku benar-benar ingin memiliki laki-laki yang perhatian seperti Ganis. Ia selalu mengungkapkan apapun yang ada di hatinya. Tak pernah ia menutupi keluh kesahnya pada Lolli.
[Mira?]
"Ya?"
[Sekali lagi, ya?]
"Ya."
[Lolli, i love you.]
"I love you too, Ganis. Thanks ya?"
[Lo emang terbaik, Mir. Nanti sore gue bakalan ngajak ketemu Lolli.]
"I love you too, Ganis." Aku mengucapkannya sekali lagi dan kembali tertawa.
[Dasar lo!]
Setelah itu percakapan itu habis. Aku memandang ponsel dengan segurat senyuman. Andaikan Reddy bersikap manis seperti Ganis. Ah, membayangkannya saja sudah diabetes rasanya.
Aku ingin masuk kelas dan mendapati pot gantung di dekat koridor dekat toilet bergoyang dengan sendirinya. Aku mengedikkan bahu tanda tak peduli.
**********
Percaya itu butuh waktu agar semuanya berjalan dengan tepat dan tidak kaku.
—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...