[12] : |Janji yang Gagal|

738 19 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku sudah menunggu Reddy hampir lima belas menit. Tapi batang hidungnya tak kunjung datang.

"Amir?"

Aku berbalik dan menemukan Prisma yang hendak mengambil motor di parkiran.

"Lo ngapain masih di sini?" tanyanya dan mendekat ke arahku.

"Nunggu Reddy." Jawabku dengan singkat.

"Ha? Reddy? Sejak kapan Amir jadi babunya si ketos?"

Aku refleks langsung mendorong tubuh Prisma dengan kuat. Bahkan saking kuatnya, tubuh Prisma terhuyung ke belakang dua meter karena tak siap dengan seranganku yang tiba-tiba.

"Gue tahu Pris lo nggak suka sama Reddy. Tapi asalkan lo tahu, Reddy itu laki-laki idaman gue. Jadi lo nggak usah ikut campur urusan gue."

Aku hendak pergi meninggalkan parkiran dan mencari Reddy ke kelasnya. Namun, Prisma kembali berbicara.

"Reddy lagi main futsal sama temen-temennya. Di lapangan utama."

Aku berbalik ingin menanggapi apa yang dibicarakan Prisma, namun Prisma sudah tidak ada di sana.

Aku sekarang merasa bersalah dengan Prisma karena telah mendorongnya. Tapi mau bagaimana lagi, gerakan itu terjadi secara refleks. Aku segera mencari Reddy di lapangan utama.

"Reddy!" teriakku ketika menemukan tubuh tegap itu.

"Mira? Lo belum pulang?" tanyanya dan mendekat ke arahku di tepi lapangan.

"Katanya lo minta bantuin cari buku. Kog sekarang malah main futsal?" tanyaku kesal

"Jadi lo belum tahu? Aduh, gimana sih Fira tadi. Gue tadi pesen ke Fira supaya kasih tahu lo, kalo gue nggak jadi beli buku."

"Ya harusnya bilang sendiri lah! Nggak elit banget ketos nyampein dengan cara begitu."

"Mira,"

Hatiku seketika meleleh mendengar Reddy memanggilku dengan selembut itu dan tatapan matanya yang begitu tajam.

"Lo marah sama gue? Yaudah gini aja. Gue minta nomor lo. Jadi, gue bisa kasih tahu langsung kalau ada apa-apa."

Aku ingin menjerit sekarang juga. Namun kuurungkan karena aku harus berpura-pura marah terhadap Reddy.

"Gimana? Boleh nggak?" tanyanya sekali lagi.

Aku hanya bermuka kecewa dan memberikan nomor ponsel padanya.

"Makasih ya? Senyum dong!" perintahnya sembari melebarkan bibirku membentuk lengkungan.

"Nah, gitu. Kan makin sayang jadinya." Ucapnya sembari tersenyum lebar dan kembali mengusap puncak kepalaku.

Aku mulai tak sehat sekarang. Atau bisa dikatakan mulai penyakitan. Jantungku tak pernah berdegub dengan tenang sejak saat itu.

Ah, Reddy memang yang terbaik.

**********

Bisa karena biasa. Namun, aku tak bisa menentukan rasa hanya dengan kebiasaannya semata.

-JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang