[30] : |Tawa Lebar|

475 16 1
                                    


Aku berjalan pelan sambil bersembunyi sebentar jika Prisma berbalik. Pasalnya sore ini aku memilih mengikuti kemana Prisma pergi sepulang sekolah.

Saat ia masuk ke sebuah ruangan, aku segera mengikutinya ingin melihat siapa yang sakit. Namun karena jiwa kekepoanmu mulai muncul, sifat cerobohku mulai datang. Aku tak melihat seorang dokter yang berjalan berlawanan dariku. Aku menabraknya.

"Maaf maaf, Dok." Mohonku sambil terus melihat kemana Prisma masuk tadi.

"Iya iya. Lain kali hati-hati, ya?" ucapnya. Mungkin usianya sekitar dua puluh tujuh-an.

"Iya, Dok." Jawabku tersenyum lalu kembali melihat nomor ruangan di setiap pintu ruangan.

"Kamu temannya Rima, ya?"

Aku langsung melihat ke arah Dokter  yang ternyata masih di depanku.

"Rima?"

"Iya. Kamu kenal, nggak?" tanyanya memastikan.

"Iya iya kenal kenal. Di mana ya ruangannya?" tanyaku. Entah Rima yang mana yang ia maksud. Aku hanya mengangguk saja sekiranya itu Rima yang selalu dekat dengan Prisma.

"Sebelah sini." Tunjuknya pada sebuah ruangan yang jaraknya kira-kira 100 meter dariku. Aku mengangguk dan ingin berjalan kesana. Namun ucapan dari dokter tersebut membuatku berhenti dan kembali padanya.

"Sebagai temannya kamu selalu semangatin dia, ya? Jangan diajak gerak yang berlebihan. Kasihan jantungnya."

"Emangnya dia sakit apa, Dok?" tanyaku kaget.

"Bradikardi."

"Makasih ya, Dok." Ucapku dan berlalu karena Dokter itu juga harus bertugas merawat pasien yang lain.

Aku segera menuju ruangan yang dimaksud. Aku hanya melihatnya dari kaca di pintu ruangan. Aku melihat Prisma membelakangiku di samping sessorang yang dirawat.

Rima Aletta.

Aku tersenyum miris. Apa mungkin Prisma berubah dariku karena ini? Apa mungkin Prisma benar-benar menyukai gadis periang itu hingga menghindar dariku? Aku menggeleng. Tapi pertanyaan itu terus bergelantungan di kepalaku secara terus menerus.

"Mira? Lo ngapain di sini?"

Aku mendongak dan menemukan Prisma. Benar, 'kan? Cerobohku datang lagi. Kebanyakan berpikir tentang hal itu hingga aku tak sadar jika Prisma sudah ada di depanku.

"Lo ngapain di sini?" tanyanya lagi karena pertanyaannya yang tadi belum kubalas.

"Ha? A ... anu... itu..."

"Jawab yang bener, Mir!" Prisma kembali membentakku. Aku mundur selangkah dan berlari keluar. Aku bingung harus menjawab apa pertanyaan dari Prisma. Aku terus keluar. Hingga di pintu utama tanganku dicekal. Prisma.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Mira!"

"Gue nggak mau jawab pertanyaan lo, Prisma!" jawabku sambil menghentakkan tangannya yang mencekal lenganku.

"Lo ngikutin gue?"

"Nggak." Jawabku cepat-cepat dan menggeleng.

"Jorgy ternyata nggak bener ngurus lo. Sembarangan biarin lo keluar." Ucapnya pelan dan mengusap wajahnya kasar.

"Jorgy?" tanyaku penasaran.

"Gue emang ngehindar dari lo. Tapi gue sepenuhnya peduli sama lo, Mira. Setiap lo nggak di samping gue, Jorgy selalu ada buat jagain lo." Ucapnya pelan namun penuh penekanan.

"Ya terus kenapa juga lo ngindarin gue? Kan kalaupun lo yang peduli ke gue kenapa lo nggak lakuin sendiri aja? Kenapa harus lewat Jorgy?" tanyaku kesal.

"Lo lupa, ya? Lo sendiri yang minta buat gue ngejauh dari lo. Lo juga yang minta supaya gue nggak terlalu peduli sama lo. Lo lupa?"

"Iya. Gue lupa. Karena gue nggak pernah berharap pertemanan kita hancur hanya karena masalah sepele." Ucapku dengan bergetar. Ah, satu tetes air mataku kembali keluar. Pasti sangat menyedihkan jika dilihat dari sisi Prisma.

"Lebih baik lo pulang nenangin diri lo. Gue nggak mau lo terlalu banyak pikiran. Ayo, gue antar cari taxi." Prisma menarik lenganku dan bersabar mencarikan taxi untukku. Aku mengusap air mataku sesekali. Kadang mendongak ke atas untuk bilang pada air mata jangan keluar lagi.

Sebuah taxi datang dan Prisma membukakan pintu untukku. Aku masuk.

"Pak, antar dia sampai jalan mahoni blok C. Kalau nyupir yang pelan, Pak. Jangan ngebut. Jaga dia baik-baik." Ucapnya pada sopir taxi. Lalu ia melihatku sebentar dan langsung kembali masuk ke dalam rumah sakit.

Seketika tangisku pecah. Aku merasa bersalah dengan Prisma. Namun ada sesuatu yang melegakan. Setahuku hadirnya Rima setidaknya menciptakan tawa lebarnya yang jarang ditampakkannya.

**********

Kenapa dengan hati ini? Sulit sekali instropeksi dan suka berkhayal sendiri.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang