[29] : |Senyum Tipis|

484 18 0
                                    


Dab!

Aku meringis kesakitan akibat sikuku  terbentur gerbang sekolah akibat aku kesiangan. Untung saja satu menit sebelum bel aku sudah sampai di SMA Pancasila. Aku berlari masuk kelas dan langsung ikut berbaris mengikuti upacara bendera.

"Ndah. Endah." Desisku pelan memanggil Endah yang ada di depanku.

"Apa Mir?" tanyanya pelan sambil menoleh ke arahku.

"Prisma mana?"

"Tanya Jorgy. Gue nggak tahu." Setelah itu Endah kembali menghadap ke depan.

Aku menoleh ke belakang berniat mencari Jorgy. Baru saja mulutku kubuka, telingaku sudah memanas. Aku menutup mataku dan menoleh ke depan.

"Cari siapa? Upacara hadap ke depan." Ucap Pak Ubaid sambil mengeluarkan jurusnya—menjewer telinga.

"I-iya, Pak." Jawabku ketakutan.

"Itu kaos kaki kenapa pendek sekali? Maju!"

Aku buru-buru melihat kaos kakiku. Ah, sialnya aku! Aku keliru mengambil kaos kaki yang biasa aku buat jalan-jalan. Dasar, Mira! Pekikku dalam hati.

Ingin sekali memberi alasan namun jika berhadapan dengan Pak Ubaid masalahnya akan bertambah panjang.

Aku maju pelan-pelan karena malu. Berdiri di samping tiang bendera. Rasanya malu sekali. Entah kenapa juga hari ini hanya aku yang dihukum. Biasanya saja yang berbaris hingga puluhan anak. Terik matahari semakin panas dan upacara berjalan dengan lancar.

"Lewat sini!"

"Sana aja, Pak."

"Bantah kamu?! Sini!"

Aku mendengar suara Prisma. Aku langsung berbalik pelan dan menemukan tubuhnya yang jangkung itu. Ia sepertinya terlambat. Aku tak berani bertanya. Dengan santainya ia berbaris di sampingku dan terus mengikuti upacara hingga selesai.

"Mira kamu boleh kembali ke kelas. Besok jangan pakai lagi itu kaos kaki." Titah Pak Ubaid di depanku dan Prisma ketika upacara telah selesai.

"Siap, Pak."

"Dan kamu. Jangan terlambat lagi. Dasi harus selalu dipakai. Motor ditata rapi." Ucap Pak Ubaid pada Prisma.

"Saya terlambat ada alasannya, Pak. Dasi saya hilang. Motor mau saya tata parkiran udah penuh." Ujarnya santai.

Aku menoleh pada Prisma tak berkedip. Sejak kapan Prisma jadi sebrutal ini? Berani membantah guru bukanlah Prisma yang kukenal.

"Prisma! Sejak kapan kamu seperti ini?! Suka bantah guru! Karena kamu terlambat, saya hukum kamu buat bersihin toilet yang ada di koridor kelas IPA. Paham?" Koar Pak Ubaid.

"Iya paham." Jawab Prisma cuek lalu berjalan ke arah koridor IPA.

Aku ijin pada Pak Ubaid untuk kembali ke kelas. Namun bukan itu tujuan utamaku. Aku mengikuti ke mana Prisma pergi. Aku ingin membantunya. Semoga saja dengan aku membantunya ia mau bercerita denganku kenapa ia berubah seperti itu.

Aku bersembunyi di balik tembok. Karena kudengar ia sedang bertelpon dengan seseorang. Aku mengintipnya.

"Iya, Tante?"

"Prisma nggak telat kog tadi, Tan. Tante tenang aja."

"Prisma udah sarapan tadi kog, Tan."

Kulihat Prisma tersenyum senang lalu  mengusap wajahnya.

"Iya."

"Pasti, Tante."

"O, sekarang Prisma lagi di ... di kelas, Tan."

"Iya. Udah dulu ya, Tan. Saya mau belajar dulu. Nanti saya ke sana lagi."

"Iya."

Percakapan itu terhenti. Tante? Apa Prisma sedang dekat dengan tante-tante? Ah, pikiran gilaku mulai kambuh. Mana mungkin laki-laki setampan Prisma malah memilih dengan tante-tante. Aku terus tersenyum hingga tak sadar bahwa aku telah menampakkan diriku.

"Di toilet jangan senyum terus. Kerasukan baru tahu rasa."

Aku segera menyadarkan lamunanku dan bingung harus berkata apa. Prisma tak melihatku sama sekali dan memilih mengepel lantai toilet yang sudah terlihat bersih.

"Cie yang udah nggak marah." Kataku menggoda di ambang pintu utama toilet.

Namun yang kudapatkan bukan apa-apa. Prisma tetap diam dan fokus pada pekerjaannya. 

"Pris, nanti pulang gue ikut lo, ya?"

"Nggak bisa. Gue ada janji." Jawabnya sambil terus fokus mengepel.

"Oh, Prismaku yang tampan ini sekarang janjiannya sama tante-tante. Amir yang cute ini sampai kalah." Ucapku separuh tertawa dan melangkah masuk ke dalam.

Kulihat ia yang terus menunduk mengepel lantai. Kuberanikan diri menatap wajahnya dari bawah. Ia langsung berdiri tegak dan terbengong karena kaget.

Aku tersenyum sangat manis. Mungkin saja. Lalu aku berdiri tegak dan berucap.

"Makasih masih peduli sama gue kemaren meskipun lewat Jorgy. Roti is the best dah!" aku mengacak tatanan rambut Prisma dan berlalu keluar menuju kelas.

Aku berhenti saat dibalik tembok dan mengintipnya perlahan. Ia masih dalam keadaan terkejut dan bengong. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum tipis. Ah, senyumnya membuatku senang. Setidaknya, hatinya mulai mencair dari sikapnya yang emosional akhir-akhir ini.

**********

Aku yang membuatmu jauh dan juga yang membuatmu jenuh. Maaf.

JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang