[50] : |Pernyataan Mira|

442 13 4
                                    

"Prisma!"

Aku terus berteriak ke seluruh penjuru bandara. Baru saja aku pulang dan berniat ke rumah Prisma, namun kata Tante Azma ia sudah berangkat menuju Palembang. Ia berangkat sendiri karena nenek sudah kembali ke Palembang dua hari yang lalu.

Keringat sudah bercucuran membahasi wajah kusamku. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku menujukkan pukul 7 malam. Aku kembali menyusuri setiap sudut dan memanggil nama Prisma.

"Huft... huft..."

Aku berhenti untuk menetralkan detak jantungku. Mataku mengedarkan pandangan di tengah banyaknya lautan manusia di sini. Kemana perginya Prisma? Pemberangkatan pesawat menuju Palembang masih sepuluh menit lagi. Aku terisak.

"Mira?"

Aku segera mendongak dan menghapus air mata yang membuat penglihatanku buram. Prisma. Tanpa aba-aba aku langsung berlari dan memeluk Prisma kuat-kuat.

"Lo ngapain di sini?" tanyanya sambil mencoba melepaskan pelukanku. Namun aku masih memeluknya erat.

"Jangan pergi. Jangan pergi." Ucapku sambil terisak di dada bidangnya.

"Gue harus menuhin janji gue ke Nenek." Gumam Prisma dengan suara pelannya.

"Jangan tinggalin gue, Pris! Pokoknya jangan!" aku semakin mengeratkan pelukanku. Setelahnya aku mendengar napas Prisma yang terdengar pasrah lalu ia membalas pelukanku. Mengusap punggungku.

"Gue sayang sama lo, Pris. Gue sayang..."

"Mir, lo nggak usah paksain ngomong hal itu. Gu-" aku segera memotong ucapan Prisma. "Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo, Pris. Gue cinta."

Perlahan Prisma melepas pelukanku. Ia menatapku dalam. Apa aku kembali melakukan kesalahan? Apa aku salah? Apa perasaan Prisma untukku sudah hilang?

"Gue nggak tahu lo ngomong ini agar gue tetep di sini sebagai sahabat lo atau itu emang bener-bener isi perasaan lo, Mir. Gue bingung. Gue lelah udah berharap lebih ke lo. Dari pertama gue kenal lo, Mira kecil yang cerewet tapi selalu ada buat gue, sampai sekarang, Mira cerewet yang selalu curhat ke gue soal percintaan dia, gue tetep sayang sama lo. Lebih dari apapun. Lebih dari apa yang lo kira. Selamanya gue bakal sayang sama lo. Entah itu cuma sebatas sahabat atau lebih, gue tetep sayang sama lo, Mira."

Aku kembali memeluk Prisma. Kali ini aku benar-benar takut kehilangan. Kehilangan sosok Prisma yang akhir-akhir menganggu pikiranku.

"Gue sayang sama lo, Prisma. Jangan pergi. Gue nggak mau kehilangan lo." Ucapku sesekali terisak. Bahkan aku merasakan baju Prisma basah karena ulahku.

"Gue juga nggak mau ngelakuin ini, Mira. Gue juga nggak bisa jauh dari lo. Tapi ini udah saatnya gue ikut nenek. Gue di sini terlalu jadi beban buat Tante Azma."

"Tapi gue nggak mau jauh dari lo, Prisma." Ucapku dengan keukeuh. Perlahan Prisma melepas pelukanku yang begitu erat. Lalu menunduk sedikit menyamakan wajahnya di depanku.

"Mungkin selamanya kisah kita cuma sebagai sahabat, Mir. Nggak lebih. Kita mungkin udah saling tersakiti entah sejak kapan itu mulai terjadi. Dan gue nggak mau buat lo sakit karena perasaan gila ini. Gue mau lo bahagia, meski bukan sama gue. Gue ikhlas. Gue akan coba terima kenyataan ini." Ucapnya kemudian mengecup keningku dengan lembut.

Aku memejam. Merasakan debaran aneh dan kuat memenuhi dada hingga perut. Aku memejam. Mencegah air mata yang terus meluncur tanpa henti.

Kecupan hangat tadi menghilang seiring aku membuka mata secara perlahan. Tubuh jangkung Prisma menjauh dari pandanganku. Punggung tegap itu sedikit berlari meninggalkanku sendirian di sini.

Aku menepi dan duduk di kursi tunggu. Ucapan Prisma terlalu menohok hatiku. Apakah cintaku baru saja ditolak? Hebat! Seorang Mira ditolak cinta sebanyak dua kali. Reddy dan Prisma. Aku menutup wajahku dan kembali menangis deras.

Kalau waktu bisa diputar, keinginanku cuma satu. Tidak bermain-main dengan ucapan Prisma setiap kali ia menyampaikan bahwa ia menyukaiku.

**********

Dari diri terucap selamat tinggal, namun dari hati kenangannya masih tertinggal.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang