Ujian Nasional sudah berlangsung sejak dua jam yang lalu. Wajah yang memanas karena otak hampir meleleh membuatku merasa lelah. Sejuk yang dihembuskan pendingin ruangan seakan tak mengurangi sedikitpun keteganganku tadi.
"Mira!"
"Lolli!"
Aku dan Lolli berpelukan sangat erat. Empat hari tidak berkomunikasi karena fokus ujian membuatku sangat merindukannya.
"Uuu... makin cantik aja lo!" kekeh Lolli sambil melepas pelukan.
"Lanjut kemana lo?" suara bariton Prisma membuatku dan Lolli menghadap sumber suara.
"Lo tanya gue apa Mira?" tanya balik Lolli. Untuk masalah aku sudah berpacaran dengan Prisma tak ada yang tahu kecuali keluarga Prisma. Bahkan Mama dan Kak Ivan saja belum kuberitahu.
"Lo, lah!"
"Rencananya gue mau kuliah di Jakarta. Nggak tahu bisa lolos apa nggak. Nilai gue di SMA pas-pasan. Kalian?"
"Jakarta juga. Soalnya Kak Ivan udah di sana. Kalau beneran gue bisa lolos, gue bakalan pindah ke Jakarta sama Mama." Ucapku kemudian memaksakan senyum.
Pindah dari Bandung adalah hal terberat. Bagaimana tidak? Sejak aku dilahirkan hingga kini usiaku menginjak 18 tahun seluruh momen terjadi di sini. Rumah satu-satunya yang kumiliki dengan sejuta kenangan yang tidak akan terulang lagi ada di sini.
"Gue nggak muluk-muluk, sih. Pengennya Jakarta juga. Tapi kalau nggak lolos gue bakalan tetep di Bandung. Kalian pergi ke Jakarta aja. Biar Bandung gue jaga!" kekeh Prisma pelan kemudian merangkul pundakku. Untuk hal seperti ini Lolli tidak akan kaget karena aku dan Prisma sering seperti ini sebelumnya.
"Yah... kita LDR an dong sama lo? Gue sebenernya juga berat ninggalin Bandung. Tapi gimana lagi. Ini demi cita-cita gue juga. Ganis aja udah daftar kuliah di Jakarta dan lolos kemaren. Masa gue nggak? Kan rasanya gue bodoh banget."
Aku melirik Prisma sekilas. Dia memang tersenyum mendengar penuturan Lolli tapi aku tahu hatinya menjerit karena harus berpisah dengan kami, terutama aku, pacarnya.
"Ya gue akui gue emang sedikit pinter agak bodoh. Makanya gue di sini aja. Kalau boleh tahu, emang apa cita-cita lo? Anak IPA nih!"
"Dokter hewan."
Entah kenapa tiba-tiba tawa Prisma meledak seketika. Bahkan semenit setelahnya suara Prsima agak serak karena terlalu kencang tertawa.
"Ih kenapa, sih?" senggolku pelan pada bahunya.
"G... g.... nggak. Lo cocok banget jadi dokter hewan." Lolli yang mendengarnya langsung berbinar dan membanggakan dirinya.
"Tapi boong!" setelahnya Prisma kembali tertawa dan dipukuli oleh Lolli.
"Lo tuh pendek, gembul, suka marah-marah nggak jelas. Persis kek Angel. Jadi kalo Angel lagi demam lo bisa ke rumah gue ngecek keadaan si Angel." Aku dan Lolli sama-sama terdiam karena menurutku apa yang ditertawakan Prisma adalah garing.
"Angel anak komplek mana, tuh?!" emosi Lolli masih meledak-ledak.
"Ayamnya Debby yang cewek yang warnanya pink." Mendengarnya Lolli langsung memukuli punggung Prisma membabi buta. Lolli mengejar Prisma yang berlari mengitari halaman sekolah.
Aku tetap diam di posisi dan tersenyum pasrah. Apa benar Prisma akan tetap tinggal di sini? Hubungan kita baru saja dekat, sebentar lagi jarak akan menjauhkan kita. Apa aku salah mengambil keputusan? Mencintai dan berpacaran dengan sahabat sendiri? Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu pula kita melakukan semuanya bersama. Bahkan tanpa sengaja aku sudah beberapa kali melukai hatinya tanpa kuketahui.
Andai aku bisa memutar waktu, aku benar-benar akan mencintainya dari dulu. Setulus hatiku. Tetap di sisinya dan melakukan semuanya bersama-sama. Bahkan rasa bahagia dan duka kita bagi berdua. Tapi selama ini aku salah. Aku bahagia dengan Heven dulu ternyata membuat lara di hatinya. Ia menyimpan rasa cinta padaku selama itu. Bodoh, Mir! Kenapa baru tahu sekarang?!
Aku mendongak dan menghembuskan napas pelan. Menarik napas kemudian membuangnya. Air mataku sudah terkumpul dan siap meluncur. Namun ia benar-benar meluncur ketika Lolli dan Prisma memelukku bersama.
**********
Perpisahan yang tak ingin terjadi namun terjadi karena tak ingin dipisahkan.
—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...