[48] : |Tersiksa Rindu|

450 15 4
                                    

"Mir, udah siap belum?!"

"Udah, Pa!"

Aku segera berlari dan menuruni anak tangga menuju ke halaman depan rumah. Kak Ivan dan Mama sudah di sana bersama Papa.

"Papa seriusan udah pulih beneran?" tanyaku sambil masuk ke mobil putih milik Papa. Papa mengangguk dan mengusap puncak kepalaku yang ada di belakangnya dari balik kemudi.

"Papamu itu ngeyel, Mir. Baru keluar dari rumah sakit tiga hari udah pengen jalan-jalan mulu." Mama ikut menanggapi yang duduk di samping Papa.

"Papa kangen banget sama kalian. Hampir enam bulan Papa baru bisa lihat wajah kalian kayak gini. Ya wajar aja dong kalau Papa pengen jalan-jalan sama kalian. Bakalan Papa tunjukin tempat-tempat bagus di sini. Kalian pasti suka." Setelahnya Papa melajukan mobilnya keluar dari rumah megah yang luasnya dua kali lipat daripada rumahku yang berada di Bandung.

Berbicara tentang Bandung, bagaimana kabar Prisma? Baru juga dua hari berpisah darinya, tapi sudah seperti dua abad tersiksa rindu olehnya. Aku menatap ke jendela mobil sambil menikmati hijaunya pemandangan di alam Kalimantan. Cantik sekali. Pantas saja Papa betah di sini. Melihat pemandangan ini, sekelebat pikiranku ingat pada Prisma.

"Mir!"

"Apa?!" balasku sambil teriak pula karena kami sedang bertengkar. Padahal ia berjalan di sampingku.

"Hutan ini angker nggak, sih?" aku memukul bahunya ketika ia berucap seperti itu.

"Lo mau nakutin gue?" ucapku lalu merebut kompas yang berada di tangannya.

"Nggak. Jangankan lihat setan, lihat lo aja gue keringet dingin."

Plak

Satu pukulan mendarat dengan tepat di lengan Prisma. Ia meringis kesakitan dan aku menatapnya dengan kesal. Enak saja menyamakan aku dengan hantu! Saat itu aku dan Prisma tersesat saat penjelajahan waktu perjusami. Dan dari kita berdua tidak ada yang punya peta perjalanan. Selain itu kita selalu berdebat dari garis awal sampai sekarang di tengah hutan ini.

Aku berhenti dan duduk bersandar pada sebuah pohon. Kakiku rasanya sudah mati rasa akibat berjalan berkilo-kilo meter tanpa tujuan.

"Mata gue ijo banget lihat daun. Andai aja itu daun uang, udah gue kantongin pulang semuanya." Aku tertawa mendengar penuturan Prisma. Ini yang sebenarnya aku suka bersahabat dengan Prisma. Ia selalu punya cara tersendiri untuk menutupi segala rasa takut atau hal yang lain yang bersarang di hatinya. Ia ceria yang membuatku ikut ceria pula.

"Kalo dilihat-lihat lo cantik ya, Mir?"

"Iyalah!" ucapku dengan bangga.

"Iyalah ya. Soalnya yang di hutan cuma gue sama lo. Lo paling cantik dari mbak-mbak yang bergelantungan di atas lo."

"Prisma!!!" aku menjerit ketakutan dan memeluk Prisma erat. Prisma terdorong beberapa langkah karena tindakanku yang cukup kuat. Aku menangis. Aku tau waktu itu Prisma begitu takut karena membuatku menangis di petang hari di dalam hutan. Tapi ia menutupi semuanya dengan membalas pelukanku dengan lembut.

"Jangan nangis, Mir. Gue minta maaf. Gue bakalan di samping lo terus buat jagain lo." Bisiknya di telinganya. Aku masih menangis di dalam dekapannya.

"Sampai kapan pun." Tambahnya beberapa detik setelahnya.

Aku tak pernah merasakan apapun saat itu. Debaran aneh atau sejenisnya. Coba saja jika itu diucapkan Prisma saat ini mungkin aku sudah terbang bersama jutaan kupu-kupu.

Lamunanku terpecahkan oleh teriakan Kak Ivan di telingaku. Aku terkejut bukan main dan langsung memukul bahunya.

"Lo itu apa-apaan sih, Pris!"

Aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Prisma? Aku tadi memukul Kak Ivan dan menyebutnya Prisma? Astaga!

"Kamu udah kangen sama Prisma?"

"Prisma? Ponakannya Tante Azma?" aku menoleh pada Papa yang menyahut pertanyaan Kak Ivan.

"Iya, Pa. Mereka kayaknya saling suka. Anak gadismu ini akhir-akhir suka mellow sama baperan." Mama terkekeh setelahnya. Aku menurunkan tanganku dan memanyunkan bibir.

"Galau rindu kamu? Kalau rindu itu jangan dipikirin mulu, tapi ajak bertemu." Kak Ivan mengusap puncak kelapaku setelah mengatakan kalimat itu.

"Kayaknya bentar lagi adek gue bakal punya pacar ini."

"Emang boleh sama Papa?" sindirku halus.

"Boleh-boleh aja kalau sama Prisma. Dia anaknya baik, sopan, pinter juga kayaknya. Ngerti orang tua."

"Tuh dapet lampu ijo dari Papa, Mir." Mama menatapku sambil tersenyum usil.

"Just wait and see. Mira masih ngantuk, pengen tidur lagi." Aku memejamkan mata dan bersandar di bahu Kak Ivan. Sebenarnya itu hanya alibiku agar semua orang tak membahas Prisma. Semakin aku sering mendengar kata 'Prisma', semakin rindu aku dibuatnya.

**********

Rindu. Satu kata yang kuncinya hanya temu.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang