Part 32

1.4K 151 29
                                    

Raya hanya memandang makanan yang terhampar di atas meja, tak mampu menyentuhnya. Nafsu makannya hilang seiring dengan beratnya pikiran yang membebaninya.

"Raya. Ayo makan. Kamu dari pagi belum makan apa-apa, lho," ucap Mama Raya lembut, berusaha menarik perhatian anaknya.

"Iya, Mah," jawab Raya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Pikirannya melayang pada keputusan perceraiannya dengan Mondy, yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan antara keluarganya dan keluarga Mondy. Meski begitu, akhirnya Raya mencoba untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, meski dengan berat hati.

"Emm... Mah," panggilnya pelan setelah beberapa suapan.

"Iya?" Mama Raya mengalihkan perhatian dari piringnya, menatap Raya dengan penuh perhatian.

"Kira-kira, keluarga Mondy sudah setuju belum ya?" tanya Raya, nada suaranya campur aduk antara harap dan cemas.

Mendengar pertanyaan itu, Mama Raya tersenyum. "Kalau ditanya setuju atau nggak kalian cerai, pasti mereka nggak setuju. Tapi, mungkin mereka belum memutuskannya, Ray," jawabnya, berusaha menenangkan putrinya.

"Tapi beneran kan? Kamu nggak suka sama cowok lain?" tanya Mama Raya, ingin memastikan.

"Iyalah. Kalau suka sama cowok lain, Raya mesti suka sama siapa, coba? Orang yang dilihat tiap hari ya Mondy, Mondy aja," jawab Raya, sedikit kesal.

"Terus, kamu suka sama Mondy?" tanya Mama Raya lagi, penasaran.

"Hah? Ya... itu... Raya..." Raya terlihat bingung harus menjawab apa.

"Kalau kamu suka sama Mondy, kenapa kamu mau pisah dari dia?" Mama Raya kembali bertanya.

"Bukan gitu, Mah. Tapi... Raya juga nggak mau terus-terusan sakit hati. Kalau Raya sama Mondy pisah, kan lebih baik," jawab Raya, berusaha menjelaskan.

"Susah banget bujuk kamu buat jujur. Apa sih alasan kamu pengen pisah dari Mondy? Emang, kalau kamu pisah dari Mondy, kamu nggak bakalan sakit hati gitu?" Mama Raya bertanya, nada suaranya mulai serius.

Raya terdiam, merenungkan perkataan ibunya. Memang, pisah dari Mondy saja belum tentu membuatnya bebas dari rasa sakit. Kebingungan melanda pikirannya.

"Ray?" panggil Mama Raya lembut.

"Hmm??" Raya terperanjat.

"Kamu nggak papakan?" tanya Mama Raya, memperhatikan wajah Raya yang terlihat pucat.

"Gak papa? Iya, Raya nggak papa kok," jawabnya, berusaha meyakinkan ibunya, meskipun kebingungan masih menghantuinya.

"Nggak. Wajah kamu kayak pucat gitu," Mama Raya menatap putrinya dengan khawatir.

"Nggak papa kok, Mah. Palingan gara-gara telat makan," ucap Raya, berusaha tersenyum.

"Yaudah. Lanjutin makannya," perintah Mama Raya, dan Raya mengangguk pelan.

Raya mencoba melanjutkan makannya, namun pada suapan kedua, dia sudah menghentikan aktivitasnya.

"Lho, Raya. Ayo habisin makannya," ucap Mama Raya, nada suaranya mulai cemas.

"Nggak deh, Mah. Raya udah kenyang," jawabnya sambil beranjak dari kursi.

"Raya... masa baru beberapa suap udah kenyang? Jangan bikin diri kamu sakit. Ayo habisin," Mama Raya mendesak.

"Nggak, Mah. Raya beneran udah kenyang kok. Raya ke kamar dulu ya," ucap Raya, berusaha mengalihkan perhatian ibunya.

Baru beberapa langkah, Raya berhenti sejenak. Kepalanya terasa pusing, dan dia memegang kepalanya, berusaha menahan rasa tidak nyaman.

Love Comes Too Late [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang