Part 44

1.1K 158 18
                                    

Mondy berlari dengan panik, mencari ruangan tempat Raya berada. Jantungnya berdebar kencang saat ia akhirnya menemukan Mama Raya, yang tampak cemas menunggu di luar ruangan bersalin.

"Mah, Raya gimana?" tanya Mondy, mencoba menahan rasa khawatir.

"Kamu dari mana aja sih, Mon? Raya masih di dalam," jawab Mama Raya dengan nada penuh kekhawatiran.

"Maaf, Mah. Mondy abis—"

"Aaaa!"

Ucapan Mondy terhenti ketika teriakan Raya menggema dari dalam. Suara itu penuh rasa sakit, dan tanpa menunggu aba-aba, Mondy langsung berlari ke dalam ruang bersalin.

"Mondy!" panggil Mama Raya, tetapi langkahnya sudah terlalu cepat.

Mondy terdiam sejenak, terkejut melihat istrinya terbaring di atas ranjang, berjuang melawan rasa sakit yang luar biasa. Ruangan itu dipenuhi oleh dokter dan suster yang berusaha membantu proses melahirkan.

"Maaf, Pak. Bapak tunggu di luar saja," ucap salah satu suster, mencoba mendorong Mondy keluar.

Namun, Mondy tak peduli. Ia berlari menghampiri Raya dan menggenggam tangannya. "Raya..."

"Mon... dy... sakiitt!" ucap Raya, suaranya terputus-putus karena rasa sakit yang tak tertahankan.

"Ray, maaf. Maaf," bisik Mondy, menekankan kata-kata itu tepat di telinga Raya, berusaha memberi dukungan.

"Ayo, Bu, ikuti saya ya. Tarik napas, lalu keluarkan," perintah dokter, tetapi Raya menggelengkan kepala. Rasa sakitnya semakin menjadi.

"Ayo, Bu, tarik napas lalu dorong!" perintah dokter dengan tegas.

"Nggak... sakiitt..."

"Nggak, Ray. Please. Demi anak kita. Kamu pasti bisa. Aku yakin," bisik Mondy, menggenggam erat tangan Raya. Ia melihat istrinya berjuang, dan hatinya terasa hancur melihatnya menderita seperti itu.

"Ayo, Bu. Kamu pasti bisa. Tarik napas pelan-pelan, lalu dorong. Ibu pasti bisa," ucap dokter, berusaha memberi semangat.

"Arrghhh...!!" Raya berteriak, merasakan kontraksi yang mengguncang tubuhnya.

"Ayo, Ray! Aku tahu kamu pasti bisa," dorong Mondy dengan semangat. Ia melihat kepedihan di wajah Raya, membuat air matanya hampir tumpah.

Raya menggenggam tangan Mondy dengan lebih erat, "Sakiitt, Mon!"

"Nggak, aku yakin kamu bisa. Kamu bisa, Ray!" seru Mondy, matanya berkilau penuh haru. Raya berusaha sekali lagi.

"Aaaaghhh..."

"Iya! Terus dorong, Bu! Kepala bayinya segera keluar. Ayo, Bu!"

"ARGGHHH!!!" Raya meraung saat merasakan tekanan luar biasa di perutnya.

"Arrrghhhh...!!"

"Terus, Ibu! Sedikit lagi!"

"Nggak... ini... sakiiitt... Arrrghhhh..."

"Sedikit lagi, sedikit lagi!"

"ARGHHHHH....!!!"

Tiba-tiba, suara tangisan bayi memecah kesunyian ruangan. Semua orang di ruangan itu menghela napas lega.

"Selamat, bayi kalian perempuan," ucap dokter dengan senyum cerah di wajahnya.

Mondy tersenyum bahagia, tak bisa menahan rasa syukurnya. Ia menatap Raya yang masih ngos-ngosan, serta keringat membasahi wajahnya. "Ray. Anak kita," ucap Mondy, dengan suara penuh cinta.

Raya tersenyum lemah, tetapi senyumnya memudar saat ia menutup matanya, kelelahan menghampirinya.

"Ray? Raya??" tanya Mondy, khawatir ketika melihat istrinya tidak membuka matanya lagi.

Love Comes Too Late [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang