Part 54

1K 141 29
                                    

Brakkk!

Boy menendang pintu kamar Mondy yang tertutup. Ia langsung menghampiri Mondy, yang tergeletak lemas di lantai samping kasurnya.

"Mondy!!"

Tanpa ragu, Boy menarik kerah baju Mondy dan membuatnya terduduk. Mondy tak melawan, pasrah dengan keadaan, dan terlalu lemah untuk membela diri.

"Apa-apaan sikap lo ini?! Diam ngurung diri dalam kamar, nolak makan, gak mau bicara! Lo gak mikirin betapa khawatirnya orang tua lo?!" Ucap Boy dengan nada tinggi karena begitu frustrasi dengan sikap sepupunya.

Mondy tetap diam, enggan menjawab. Ia tidak menatap mata Boy sedikit pun, membuat Boy semakin geram.

"Tch!"

Brukk!

Tanpa mempedulikan kondisi badan Mondy yang lemah, Boy menghempaskan tubuh Mondy hingga membentur bagian samping tempat tidurnya.

"Iya. Gua ngerti lo nyesel. Tapi setidaknya jangan diam kayak gini, Mon. Lo harus sehat. Jangan buat orang tua lo khawatir kayak gini. Apa dengan diam ngurung diri dalam kamar, nolak makan, liatin foto Raya, nangis, itu bikin Raya kembali? Nggak kan?!" Ucap Boy dengan emosi yang meluap-luap.

Tes.

Tes.

Air mata Mondy mulai menetes deras, membasahi lantai di bawahnya. Ia menangis penuh penyesalan.
"Iya gua tau. Gua juga gak nyangka..." jawab Mondy lirih, terputus di sela-sela tangisnya. Boy diam, menunggu Mondy melanjutkan perkataannya.

"Raya pergi. Gua... gak nyangka gua jadi gak berdaya kayak gini... Gua gak bisa apa-apa," ungkapnya, suaranya serak penuh rasa sakit.

Boy memberi kesempatan kepada Mondy untuk mengeluarkan semua isi hatinya, membiarkannya berbicara tentang rasa yang terpendam.

"Raya... Raya..." akhirnya Mondy terisak, mengingat saat-saat bersama Raya yang kini tak ada, dan saat-saat ia menyakiti wanita itu. Rasa penyesalan semakin membakar hatinya.

Boy mendekat dan jongkok di samping Mondy, memegang pundaknya sekadar untuk menenangkannya.

"Gua ngerti perasaan lo. Tapi, lo gak bisa kayak gini terus. Udah saatnya lo bangun. Lo harus cari Raya kalau emang beneran cinta sama dia," ucap Boy, penuh harap.

Mondy mendongak, menatap Boy dengan tatapan kosong.

"Iya. Lo cari dia, Mon. Bukan ngurung kayak gini," tegas Boy.

"Kemana?? Gua bahkan gak tahu dia pergi ke mana. Dia pergi sama mamanya. Gua gak tahu mereka ke mana," keluh Mondy, suaranya lemah.

"Ya seenggaknya lo berusaha. Buktikan kalau lo cinta sama Raya. Coba cari dia!" tantang Boy.

Mondy menundukkan kepala lagi, kembali menangis.

"Mon! Lo pria yang buruk!" ucap Boy, berusaha menggetarkan semangat Mondy.

"Iya," jawab Mondy sambil terisak.

"Lo suami yang buruk."

"Iya," Mondy kembali menjawab, terisak.

"Lo anak yang buruk."

"Iya."

"Dan ayah yang buruk!" ucap Boy yang langsung berhasil menarik perhatian Mondy.

"Iya. Berapa hari lo ngurung diri dalam kamar ini? Lo lupa sama Viola? Lo gak mikirin anak lo? Gimana perasaan dia yang gak ketemu orang tuanya?" tanya Boy tegas.

"Vi... Vio..." lirih Mondy, air matanya kembali mengalir.

Boy berdiri, menatap Mondy dengan penuh serius. "Mon, karena Raya pergi, seharusnya lo ada di samping Vio. Kasih dia pengertian tentang Raya. Lo seharusnya bisa jadi ayah sekaligus ibu selama Raya gak ada. Bukan ngurung diri kayak gini. Itu cuma bikin orang di sekitar lo khawatir," ucap Boy, dengan nada penuh harap agar Mondy mau bangkit dari keterpurukannya.

Love Comes Too Late [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang