Part 47

1K 126 18
                                    

Malam ini, ruang tengah di rumah Mondy dipenuhi suasana hangat dan ceria. Orang tua Mondy datang menjenguk, membawa keceriaan dan sedikit rasa ingin tahu mengenai kehidupan putra mereka dan menantunya, Raya. Mama Mondy terlihat asyik menggendong cucu mereka, Viola, yang baru saja terlelap, membuat suasana semakin akrab. Boy, sepupu Mondy serta sekaligus sahabatnya yang selalu siap mendukung, juga ikut serta dalam kunjungan ini atas permintaan Papa Mondy, sehingga membuat suasana semakin meriah.

"Raya Mondy, bagaimana? Apa kalian kesusahan merawat Viola?" tanya Papa Mondy, nada suaranya hangat dan penuh perhatian.

"Pertamanya sih iya. Tapi udah nggak sih. Soalnya Raya enjoy juga hehe," jawab Raya, senyumnya merekah seolah menggambarkan kebahagiaan yang ia rasakan.

"Haha.. wajar. Dia kan anak pertama kalian," ucap Papa Mondy, menambahkan keceriaan dalam suasana malam itu.

Mama Mondy, tak mau kalah, berkomentar, "Kalau Raya yang selalu merawat Vio, awas nanti pas udah gedenya dia lebih deket sama Bundanya daripada ayahnya lho!" Ucapannya penuh dengan nada menggoda, seolah ingin mengingatkan Mondy akan peran pentingnya.

"Iya bener tuh. Makanya bantuin Raya juga," sambut Boy, yang duduk tak jauh dari mereka. Senyumnya lebar, seolah menantikan respons dari Mondy.

"Idih, apaan coba. Orang tiap malam Vio tuh suka susah tidur kalau nggak dikeloni ayahnya. Wlee," balas Mondy sambil tersenyum nakal, membuat Boy tertawa kecil dan memukul pelan Mondy dengan majalah yang dipegangnya.

"Masa? Ini Vio bisa tidur tanpa Ayahnya tuh," sahut Mama Mondy sambil menunjukkan Viola yang sudah terlelap di pelukannya.

"Ya.. Mungkin.. itu kebetulan," ucap Mondy, sedikit defensif, tapi jelas ada nada tawa di balik perkataannya.

"Ngeles aja lu," ujar Boy sambil menggelengkan kepala, tertawa melihat sahabatnya yang berusaha menghindar dari kenyataan.

"Udah ah. Ray, kayaknya Vio udah tidur nyenyak nih. Kita bawa ke kamar yuk," ajak Mama Mondy, mengalihkan perhatian.

"Oh iya, Mah," jawab Raya, dan mereka pun beranjak menuju kamar, meninggalkan para pria yang masih di ruang tengah.

Di ruang tengah, Papa Mondy mulai serius. "Mondy. Bagaimana? Kamu sudah tidak pernah mengeluh lagi tentang pernikahan kalian. Kamu sudah bisa menerima Raya, bukan?"

"Maksud Papa?" tanya Mondy, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul.

"Ya, kamu sudah mulai mencintai Raya, kan?" tanya Papa Mondy lagi, kali ini lebih tegas.

"Laah? Siapa bilang?" jawab Mondy dengan nada kaget.

"Lho?" Papa Mondy mulai kebingungan, melihat putranya yang tak kunjung mengakui perasaannya.

"Ya ampun, Om. Ditanya yang kayak gitu Mondy mana bakalan ngaku," sahut Boy, menyentuh kenyataan yang ada di depan mata.

"Hm. Iya juga sih," timpal Papa Mondy, menyadari betul sikap putranya.

"Iya. Mondy tuh kelihatannya aja yang nggak cinta sama Raya. Tapi hatinya.. behh.. dia nggak mau kehilangan Raya. Gak mau jauh-jauh dari dia," ucap Boy, sambil berusaha menahan tawanya.

"Lho? Masa? Terus kalau gak mau jauh-jauh, gimana dia mau ke kantor?" tanya Papa Mondy, mulai merasa ada yang aneh.

"Nah itu dia. Mondy tuh sering bolos dari pekerjaannya Om. Kalaupun kerja, dia tuh suka pulang siang-siang biar cepet-cepet ketemu Raya," ucap Boy, mengungkapkan fakta yang mencengangkan.

"Cck! Mondy. Papa senang jika itu benar. Tapi kalau kamu seperti itu terus, ada baiknya biarkan Boy membantu kamu di kantor. Dengan begitu kamu juga bisa berlama-lama bersama Raya," nasihat Papa Mondy, menunjukkan kepeduliannya.

Love Comes Too Late [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang