Ya Allah, hamba mengulang lagi.
Saya mengulang lagi. Beberapa hari yang lalu, saya menulis lalu tak cukup 1000 kata, maka kuputuskan tulisan itu tidak memenuhi syarat hingga saya harus ulang lagi.
Mengulang dari angka 1.
Capek?
Tidak!!
Tapi saya hanya merasa bahwa saya benar-benar perlu belajar konsisten. Disiplin terhadap diri sendiri.
Kenapa sih saya sering mengulang?
Tulisan kadang tidak jadi saat saya ingin menulisnya dalam kondisi mengantuk.
Maka memang perlu waktu yang khusus agar saya bisa menulis bukan pada jam-jam ngantuk seperti menjelang tidur.
Saya harus pandai memilih waktu yang pas menulis.
***
Lalu, apa yang saya bahas hari ini?
Apakah tentang suasana lebaran yang agak sedikit pudar rasanya. Mungkin, karena saya tidak ikut sholat ke masjid ataupun menyaksikan secara langsung pemotongan hewan qurban.
Kemarin...
Seorang teman lama dari Pakistan berbagi cerita melalui chat. Ia bercerita tentang bagaimana tradisi hari raya idul adha di negaranya. Sebelumnya, ia bertanya tentang tradisi di Negara Indonesia.
Saya mengatakan padanya bahwa seperti Negara lain, bahwa hasil pemotongan hewan qurban sepertiganya akan dinikmati oleh si pemilik dan membuatnya makanan serba daging.
Ia pun langsung menyebutkan BBQ.
Namun, saya mengatakan padanya bahwa di sini hanya banyak coto bukan BBQ.
Untung saja... ia tak bertanya apa itu coto. Susah payah saya pulang balik dari google translate ke facebook hanya untuk mentranslate apa yang ia bilang dan apa yang akan saya katakana padanya.
Ia kemudian mengirim sebuah foto jalan di mana sisi kiri dan kanan ada jejeran rumah. Yang menarik adalah ada genangan darah di sepanjang jalan.
Saya bertanya padanya, apakah itu karena darah hewan qurban?
Ia menjawab, bahwa setiap rumah melakukan sembelih hewan qurban masing-masing di rumahnya.
Sungguh... gambar yang ia kirimkan agak mengerikan.
Walaupun jika dilihat dari sisi lain, bahwa semangat berkurban oleh masyarakat Pakistan patut diacungi jempol.
Ia juga bercerita tentang bagaimana ia menangis melihat hewan qurbannya dipotong, katanya ia tidak tega melihatnya apalagi selama 2 hari sebelum pemotongan, ia sangat telaten merawatnya.
Lalu saya bertanya padanya, apakah kamu memakan dagingnya?
Dengan sigap ia membalas bahwa ia tidak memakannya.
Tiba-tiba saya teringat dengan tulang punggung keluargaku.
Ia selalu mempersilahkan untuk menyembelih ayamnya asalkan bukan ia yang memegangnya saat proses sembeli. Ia tidak tega, karena selama ini ayamnya itu dirawat dengan selalu memberi makan.
Sayapun sendiri tidak tega, jika anak-anak kucingku harus dipindahkan ke rumah empang. Bahkan ketika kucingku ditabrak lalu meninggal? Sungguh itu menyedihkan.
Kamu sendiri, ada cerita tentang ketidak tegaannmu terhadap sesuatu?
Saya bingung mau tulis apa lagi....
Selama dua hari ini saya di rumah saja. Sebenarnya saya sangat ingin ke puncak gunung. Saya terbayangkan puncak gunung di bulu pao (Padanglampe Village). Namun, selama dua hari ini saya menginap di Darussalam House.
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...