Bismillah.
Sebuah kisah nyata meski tak seutuhnya nyata.
Matanya memandang pepohonan sambil memadukan langit yang mulai menggelap.
Tatapannya tenang menyejukkan namun tidak dengan pikirannya. Otak kecilnya itu sangat riuh, banyak pertanyaan yang muncul apakah benar begitu? Apakah harus begini? Apakah keputusan ini benar dan bermanfaat untuk hari-hari yang datang.
Manfaatnya tak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain sejagad raya.
Ah, terlalu rakus jika sejagad raya. Minimal sekitar mu terlebih dahulu.
"pusing rasanya memikirkan ini terus," batin gadis bermata bulat.
Tangannya menutup tirai jendela kuning lembut, kakinya melangkah menutup pintu yang terbuka lebar.
***
Suara corong masjid terdengar jelas mengumumkan daftar nama donatur. Satu persatu disebut, semoga saja tak ada riya yang bersarang dalam hati si pemilik nama. Jika ada, sia-sialah sudah. Hanya sekedar nama tanpa nilai yang berarti.
Malaikat Rakib dan Atid, tentu sangatlah selektif mencatat.
Ditutupnya wajah dengan kedua tangannya, ia masih bingung tentang keputusan apa yang harus diambil.
Ingatan beberapa teks yang bertuliskan ia adalah orang sederhana, pekerja keras dan bertanggung jawab masih terus terngiang meskipun tanpa suara.
Gadis itu bingung, apakah teks itu fakta atau hanya sekedar teknik copy writing semata.
***
Memandang gedung pencakar langit, riuh suara lalu lintas.
Langkah kaki berdetak layaknya jantung dalam raga. Waktu adalah uang namun uang tak dapat membeli waktu yang berlalu.
Beberapa tumpukan buku menumpuk menunggu untuk segera ditandatangani. Riuh suara notifikasi social media tak ingin kalah dengan suara lalu lintas.
Gadis berkacamata itu memandang langit memadukan ujung pengcakar langit.
Burung-burung berterbangan meskipun hanya dalam lukisan yang menempel pada dinding berwarna kuning lembut.
Seorang lelaki bertubuh pendek dan gendut datang dari arah belakang. Wajahnya tampan apalagi wajahnya memancarkan aura kepercayaan diri.
Pakaian dan aksesoris bermerek melekat di tubuhnya, tak lupa pula senyum selalu disematkan dalam wajahnya.
Gadis berkacamata itu membalas senyumnya, sambil menarikan jemarinya di atas lembar kedua di buku miliknya.
"Hari ini kita akan kemana?" Tanya gadis itu dengan tatapan senyum manis.
***
Angin berhembus sangat kencang, udara dingin menusuk tulang. Berpakaian setebal mungkin agar raga tak dipeluk oleh hawa dingin.
Air seakan ikut mendingin, namun suasana malam itu hangat ditemani canda dan tawa sambil bercerita tentang kisah yang tak terduga.
Suara jangkrik bersahutan, air mengalir terdengar jelas jatuh dari satu wadah ke wadah yang lain. Asap mengepul dari tungku tanah liat berbahan bakar kayu jati putih.
Dua pasang jari jemari direntangkan mendekat ke sumber bara api. Panas tapi tak menyengat, ini menghangatkan.
Karpet usang namun bersih terbuka lebar. Di sudut kanan karpet tergeletak ratusan buku lengkap dengan plastiknnya yang bening.
Di sisi kiri, sebuah kamera sony tergeletak tanpa bateray.
Senyum lebar terlihat jelas saat melihat nasi putih yang mulai matang.
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...