Bismillah.
Alhamdulillah saat saya tulis ini. Saya sudah makan nasi putih bersama sayur kangkung 'masak' bukan tumis ya. Hasil masakan temanku Ratnasari yang sedang nginap di kamar kos. Oiya, saya sekarang lagi berada di Parepare.
Rasanya kikuk juga, dua pekan lebih tidak menulis seribu kata. Meski peringkat tulisanku di wattpad menurun, namun bukan factor itu saya kembali menulis seribu kata ini. Hanya saja dalam sehari, sebanarnya ada banyak hal yang bisa saya ceritakan, namun terlewatkan saja tanpa jejak. Bahkan sebaik apapun cerita pengalaman yang saya lewati hari ini, tetap saja tak berarti jika saya tak menuliskannya. Dikarenakan saya akan lupa.
Ya, otak ini memang lemah dalam mengingat.
Hmm... kuingat-ingat dulu apa yang terjadi hari ini.
Sebelum pukul enam pagi, saya terbangun mengingat janjiku pada Ratna tentang akan sarapan di atas pasir berview pantai. Namun, awan gelap menyurutkan niatku, ditambah suara gemuruh Guntur yang menggelegar. Seolah tanda melarang untuk pergi.
Karena kupikir kami bisa saja sakit kalau kehujanan, maka kutunda niatku.
Ratnapun kembali mengganti bajunya setelah sebelumnya telah bersiap berangkat. Kemudian ia menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Karena rencana makan nasi kuning di pinggir pantai, tidak jadi.
Selama Ratna memasak, apa yang aku lakukan? Sebagai pemilik kamar (tuan rumah), saya malah sibuk berada di depan laptop. Ya, ini karena saya mendapat tugas untuk mempresentasikan sebuah buku (khususnya pada bab 1 tentang Memahami Sejarah sebagai Gelombang) yang ditulis oleh Anis Matta.
Hari ini Sabtu? Ya, memang libur. Namun tidak dengan kegiatan informal.
Kegiatan informal seperti liqo tetap berjalan, meskipun di tengah ancaman virus viral itu.
Setelah masakan Ratna selesai, kulihat ia habis menggoreng tahu yang dipotongnya secara tipis-tipis lalu dilumuri tepung. Pas saya memakannya, saya berpikir bahwa kenapa tidak dari dulu yaa saya menggoreng tahu dengan potongan tipis-tipis? Karena faktanya, saya suka menggoreng tahu dengan potongan tebal-tebal. Akibatnya tahu kadangkala tidak matang pada bagian dalam, meskipun telah hangus pada bagian luar tepung bumbu.
Kadang kala kita memang belajar dari cara orang lain. Dan memang setiap orang punya caranya tersendiri.
Hal terpenting, jangan pernah memaksakan caramu harus diduplikasi oleh oranglain. Namun, kali ini saya sangat setuju dengan cara Ratna yang memotong tahu itu. Saat saya melihat tahu itu, saya jadi tahu dan saat saya makan tahu itu, saya menjadi tahu atas keyakinan kesetujuanku. Tolong jangan pusing yakkk.
Setelah perut terisi makanan, tentu jangan isi sampai full. Karena kekeyangan itu tidak baik dan kelaparan itu juga tidak baik. Yang tidak baik, jika kamu tidak sadar akan dua hal itu.
Ok, baiklah terserah readers deh.
Oiya, bagaimana kabarmu readers? Tentu, Aku tidak tau siapa namamu. Namun, aku tau kamu sedang membaca tulisanku.
Terima kasih yaaa, khususnya kamu yang udah setia membaca dari awal hingga akhir. Dari tahun 2019 hingga tahun 2020, pokoknaaa terima kasih.
Mengapa saya berterima kasih?
Karena kamu merelakan waktumu untuk tersita dengan tulisan garing ini.
Padahal waktu itu takkan pernah kembali meskipun jarum jam terus berputar pada angka yang sama.
Semoga saja, kamu dapat memetik hikmah atau pembelajaran dalam setiap judul tulisanku.
Dan pembelajaran itu kamu ingat ketika kamu berada pada situasi yang relevan dengan tulisanku.
Oiya, kamu belum jawab. Bagaimana kabarmu readers???
Aku belum mendengar? Coba jawab dalam hati saja. Ah, rasanya kamu akan jujur jika menjawab dalam hati, karena jika dijawab pada mulut, kamu selalu bilang baik-baik saja.
Okelah, jika kamu selalu mengawalinya dengan kata Alhamdulillah. Sayu sangat sepakat akan hal itu.
Karena, hidup adalah sesuatu yang harus disyukuri meski kehidupan itu kadang menyedihkan.
Ayolah, mungkin itu hanya persepsi mu semata.
Ah, mungkin persepsi mu Hayana, bukan persepsi readers.
Baiklah kita kembali ke tahu. Setelah kenyang, saya dan Ratna berebutan piring kotor. Ya, saya keberatan jika kali ini, Ratna yang mencuci piring kotor itu. Karena aturan dalam kamar kos ku, siapapun yang memasak maka ia tidak boleh mencuci piring. Aturan itu sudah lama ada sejak tahun 2014, saat Amel menjadi teman sekamar pertamaku.
Namun, kali ini Ratna benar-benar tak membiarkanku mencuci piringku. Ia malah menyuruhku mandi agar bergegas pergi ke pantai.
Namun, kupilih untuk melanjutkan duduk di depan laptop.
Setelah beberapa menit, kutengok-tengok ke arah jendela sambil mengamati dengan cermat warna langit. Kulihat, awan mendung berpadu dengan langit biru. Nah, saat itu kupikir lebih baik menepati janjiku untuk ke pantai. Tentu, ini sebenarnya juga janji terhadap diriku sendiri. Lagi pula, aku memang sedang merindukan pantai tonrangen (pasir putih). Pantai cantik dengan ombak yang tenang. Alhamdulillah.
Ratna bertanya keheranan tentang keputusanku untuk pergi tanpa mandi. Hehe, saya memang suka ke pantai saat belum mandi. Rasanya segar saja jika pulang dari pantai langsung mandi, malahan sebenarnya saya ingin mandi di pantai untuk mengurangi kemanisanku (bercanda, hehe). Tapi, saya malas juga pulang naik motor dengan keadaan baju basah kuyup. Cukup sudah ujung rok dan kaos kakiku yang basah. Pasirpun tak mau ketinggalan untuk melengket.
Saya mengamati ombak yang tenang menggulung pelan secara teratur. Pikiranku mengarah pada file power point yang belum kutuntaskan. Karena sudah terlanjur di pantai, maka kuamati ombak itu. Meskipun sebenarnya saya merasa pusing jika melihat ombak. Yapp,,, kadangkala bukan hanya masalah yang membuat kita pusing. Karena bagi kalian, belum tentu loh kalau ombak itu sebagai masalah.
Saya kemudian mengingat tentang judul presentasi ku 'memahami sejarah sebagai gelombang'. Lalu, pada saat presentasi muncul peryataanku tentang apakah ombak dan gelombang itu sama? Temanku langsung menggeleng kepala. Awalnya kupikir berbeda, namun saat saya mengetik ini, hmmm kurasa sama. Karena gelombang adalah ombak.
Kayaknya readers perlu mencocokkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, apakah benar mereka saa atau berbeda?
Ah, tiba-tiba terpikirkan. Jika ada KBBI, maka seharusnya ada juga kamus filosofis atau kamus Semiotika Dunia.
Ya, KBBI menyebut kursi adalah tempat duduk atau kayu yang berbentuk. Namun, secara makna kursi bisa berarti kekuasaan, jabatan atau hal yang senada.
Saya memperbaiki tempat dudukku, dan memikirkan apalagi yang saya tulis?
Tolong readers, menemukan hikmah dari tulisan ini.
Bahwa tulisan yang tidak baik pun kita sedang belajar akan sesuatu hal.
Seperti biasa saya akan selalu mengantuk jika menulis seribu kata ini. Mataku kembali mengeluarkan air mata.
Terakhir, saya mengingat materi presentasiku bahwa untuk mengetahui masa depan kita harus mengetahui kronologi, biografi dan hmmm....tuhkan saya lupa.
Saya hanya mengingat secara pasti bahwa sejarah terkait tiga orang: pertama orang meninggal, orang hidup dan orang yang akan datang (menjelang lahir, generasi penerus). Lalu pertanyaannya, kamu termasuk yang mana? (Parepae, 18 Juli 2020|20:41 wita).
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...