Bismillah
Setelah mengetik satu kata di atas, saya memutar sebuah lagu dari fiersa besari 'hidup kan baik-baik saja'.
Liriknya seolah menasehatiku tentang kebingunanku yang masih saja bersarang dalam otak kecil ini.
Hujan deras baru saja turun, namun gerimis tetap menghiasi atap.
***
"Sebenarnya ada banyak yang ingin kutanyakan kak, namun sepertinya saya akan bertanya cukup 5 pertanyaan," ucap gadis bermata bulat itu.
"apa itu?"
Otakku berputar-putar mencari pertanyaan efektif dan efisien.
"Pertanyaanku harus tepat agar aku bisa memperoleh petunjuk," batin gadis itu.
"Kapan kaka marah dan karena apa?" Tanya gadis itu dengan pelan.
Kulihat ia sedang mencoba mengingat dan aku sama sekali tidak tau, apakah jawabannya itu jujur. Aku perlu mengetahui kapan sihhh dia marah dan alasannya kenapa?
Apakah yang membuantnya marah itu karena hal-hal kecil atau karena hal-hal besar. Dan seberapa sering ia marah meskipun saya bertanya tentang kapan.
"pertanyaan selanjutnya, kakak kelahiran tahun berapa dan sebenarnya kapan target menikah?" Tanya gadis itu penasaran.
Aku perlu bertanya seberapa jauh perbedaan umur kita. Ya, memang umur seseorang bukanlah penentu utama kedewasaannya. Hanya saja, aku perlu mengetahui jarak umur diantara kita agar aku bisa membayangkan hal-hal apa saja popular disaat masa-masa pertumbuhannya. Aku juga perlu membayangkan kondisi wajahku dengan wajahnya khususnya ketika aku mulai menua. Hmm,,, mungkin karena perempuan terlalu banyak urusan hingga kulitnya mudah keriput. Belum lagi jika sudah muncul beberapa teriakan bocah-bocah kecil yang akan menguras emosi dan keringat.
Mengenai target menikah, sepertinya ia salah persepsi atas pertanyaanku itu. Sebenarnya Aku butuh jawaban tentang target ke depan namun ia berbicara target ke belakang. Tapi tidak ada sia-sia. Jawabannya malah menggambarkan tentang kesiapannya di masa lalu hanya saja nasib baik belum berpihak padanya.
"Kakak, coba ceritakan peran isteri mulai dari jam 6 pagi hingga magrib dan bolehkah AKu mendengar kakak mengaji?" tanyanya lagi dengan suara grogi.
Aku perlu mengetahui peran seperti apa yang akan diberikan padaku. Apakah perannya banyak atau sedikit, apakah itu merepotkan atau akan membuatku merasa nyaman. Aku juga perlu mendengarnya mengaji. Kenapa? Ya, aku butuh imam bukan hanya tentang kepala keluarga.
***
"Aduhhh... ini adek mau bertanya apa yahhh," batin lelaki bertubuh gendut itu.
"adik ini mau Tanya apa yah? Kok bikin penesaran saja" batin lelaki berwajah sendu itu.
"aku gak suka marah dek. Tapi aku suka merasa jengkel... ya kesel-kesel gitu. Jika ada orang yang tidak sesuai dengan harapanku. Kadang kala sih aku pendem saja, daripada mengungkapkannya secara terang-terangi dan membuat orang merasa sakit hati, mending aku pendem aja. Walaupun ini gak baik sihh sebenarnya," ucap lelaki bertubuh gendut itu sambil memperbaiki kerah bajunya.
"hhhmmm... kapan ya aku marah dek. Kayaknya waktu adikku lari dari sekolahnya. Yaaa, aku marah Cuma diam saja," ucap lelaki sendu itu.
"1992, 2018 tapi calonnya belum ketemu"
"1989, 2017 tapi calonnya menikah dengan orang lain".
"pagi-pagi ia membersihkan rumah, menyiapkan sarapan setelah itu mencuci piring. Sebelum mandi, ia menyempatkan waktunya untuk menyiram tanaman. Beberapa kesempatan ia juga menanam tanaman baru. Setelah itu mandi dan ia berangkat ke tempat kerjanya bersama denganku. Setelah itu, siangnya kita akan bertemu lagi lalu makan sian bersama di jam istirahat kantor setelah itu kita kembali ke tempat kerja masing-masing. Saat jam pulang kantor, saya akan kembali menjemputnya lalu sesampai di rumah ia akan memasak makanan. Sementara Aku akan membantunya membersihkan dan merapikan isi rumah. Beberapa kesempatan, aku yang akan menyiramkan tanamannya di sore hari," rinci lelaki bertubuh gendut itu.
"pekerjaannya juga pekerjaanku. Kita akan sama-sama menyelesaikannya," ucap lelaki berwajah sendu itu dengan singkat tapi samar-saar.
Lelaki bertubuh gendut itupun membaca Qs. Al-Baqarah 216.
Sementara lelaki berwajah sendu itu membaca QS. Al Baqarah...
***
Si pengetik menguap dan sepasang mata sipitnya melirik keterangan jumlah kata.
"hmm,,,, belum cukup," pikirnya.
Matanya kembali berkaca-kaca, sesekali menguap.
Hujan mulai reda, nyamuk pun masih bersembunyi.
Leher terasa tegang, mungkin efek daging atau mungkin karena seharian ini si pengetik di luar rumah.
Si pengetik ketik apa lagi yahhh?
Seorang adik angkatan, jauh dibawah menyarankan agara membuat grup sharing tentang hobbi jepret menggunakan camera smartphone. Menurut saya bermanfaat. Maka saya pun membuat grup dengan memberi nama "Kuasa-Nya" karena pikiranku mengarah pada kekuasaa-Nya yang akan kita potret baik itu flora, fauna maupun alam-Nya. Pun juga termasuk benda-benda buatan manusia. Kau bilang ide itu darimu? Ketahuilah ide itu ada karena otakmu yang berfungsi. Lalu siapa yang menciptakan otak? Kuasa-Nya kan.
Tapi sayiag sekali ternyata tidak semua orang akan berbicara tentang filosofis, tentang pemaknaan. Beberapa manusia lebih suka berbicara hal-hal teknis, praktis. Mungkin, itu menjadi pembeda pada setiap isi otak pada setiap raga.
Hujan kembali turun dan sayapun memperbaiki posisi duduk.
Pandaganku mengarah keluar, menengok sang kepala keluarga yang sudah mulai mengantuk. Ia mencoba membangunkan sang penguasa dapur yang sedang mengambil tempat tidurnya.
Lalu, kudengar sang kepala keluarga mengucapkan 'bismillah'.
Jujur saja, awalnya saya malas menulis ini. Ya, beberapa kali absen dengan konten variasi membuat mood menulis ku agak meredup meskipun masih suka menulis caption pendek.
Hanya saja, saya sadar bahwa setan dan jin takkan senang jika saya melakukan hal-hal baik. Layaknya seja yang lalu, mataku mulai kututup di atas tempat tidur yang lumayan empuk. Saya menutup mata setelah mendengar suara adzansholat isya. Hanya saja, aku kembali teringat tentang godaannya yang tak boleh diikuti.
Saya segera bangkit, meluruskan niatku dan menuju ke belakang untu mengambil air wudhu.
h... aku kembali menguap. Ngantuk Ya Allah. Dan aku yakin saat membuka smartphone dan berselancar di dunia maya, ngantuk tetiba akan menghilang.
Kau tau, disinilah pentinya memiliki kekuatan untuk melwan godaaanya.
Kututup mataku sejenak lalu kubuka. Kulirik sekerang jumlah katannya sudah di delapan ratusan. Sedikit lagi menyebrang ke seribu.
Lalu saya mengetik apa lagi?
Tentang lelaki gendut dan lelaki sendu itu?
Atau tentang gadis berkacamata dengan gadis berginsul itu?
Hmm... readers sepertinya bertanya-tanya dalam hati apaka cerita itu fakta atau fiktif semata. Tapi fakta sebenarnya, aku sebenarnya mengantuk.
Asragfirullah.
Aku kembali menguap dan kututup mulutku dengan tangan kiriku.
Kali ini kuusap kedua mataku dengan seasang tanganku.
Ngantuk sekali ya Allah. Tapi ketikannya masih di Sembilan ratusan.
Lalu, apa lagi yang ingin sayatulis lagi?
Pikiranku teringat dengan sebuah rumah yang memiliki tulisan hitam besar di oagarnya.
Intinya rumah itu sepertinya tampat membaca. Wuahhh... aku mau sekali itu. tapi sayang, saya tidak tau siapa yang punya. (Tanete, Senin 25 Mei 2020|20:43 wita).
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...