Bismillah
Mataku sudah berkaca-kaca saat mulai mengetik ini. Awalnya saya ingin tidur lebih awal lalu bangun di jam tengah malam untuk menuntaskan tulisan ini.namun, saya mengkhawatirkan kalau saya menunda bisa jadi tidak jadi lagi. Itu akan membuatku mengulang lagi.
Saya menguap dan air mataku mulai keluar.
Retak kaca mulai terlihat, kurasa sebentar lagi akan terberai dan jatuh hancur. Namun, embun mencoba untuk menjaganya agar tetap merekat.
Tanah basah terasa meskipun tak terlihat, air langit jatuh mengenai seng tanpa palfon. Suaranya sampai ke indera pendengaran.
Benda smartphone terus saja bercoleteh melalui youtube padaha; multitasking seharusnya tidak dilakukan.
Sebuah channel bernama Satu Persen, 95 % saya suka. 5% persennya menjadi dislike karena ilustrasinya yang kadang bertentangan dengan keyakinanku.
Cobalah menengoknya. Dubbernya punya ciri khasnya tersendiri dan caranya membaca tidak membuat bingung. Penekanan setiap kata pas apalagi scripnya sangat menarik dengan penyajian setiap kata yang terangkai dengan rapi.
Saya menguap, tidak. Kali ini saya bersin, sepertinya ada debu yang melintasi salah satu inderaku.
Tangan kananku mencoba mengucek mata kanan yang sepertinya terasa rabun. Entah karena ngantuk atau apa yakkk? Yang jelas saya ingin segera mengakhiri ketikan seribu kata ini.
Namun,tetiba ada yang berbisik. Hey, nikmatilah ketikan ini. Santai tapi pasti.
Kutekan tombol save.
Jumlah kata masih di dua ratusan.
Saya harus mengetik apa lagi?
Saya kembali menguap lagi dan mataku kembali berkaca-kaca lagi.
Hari ini Humaerah (gadis lucu bento kata) mendatangi halaman rumahku. Hanya karena dua pohon kersen depan rumah. Yakkk... pohon itu selalu ramai dan menjadi daya tarik bagi setiap jiwa penyuka kersen.
Humaerah, mencoba untuk menggodanya. Ia malah marah (hehe) tak mau berteman dengan saya. Maklum, saya tak berhasil membujuknya dengan foto kucing. Kata ibunya, Humaerah sangat menyukai kucing. Saying sekali saya tak punya boneka kucing. Boneka ku tertinggal di kos.
Saya keluar ke pintu utama, mendengar suara motor bapakku yang kian mendekat. Karena sang ibu lagi pergi ke rumah tante membantu buat kue dan kunci pintu ada di luar rumah (karena kupikir tadi saya akan cepat tidur) tapi ternyata tidak. Kenapa kunci disimpan di luar? Itu artinya saya dikuncikan dari dalam. Ya, saya khawatir kalau tertidur dan tak bisa bangun untuk membuka pintu.
Bapakku bertanya kenapa tidak ikut sama Sang penguasa dapur. Namun, ia sudah sangat paham tipikal ku yang lebih suka di rumah. Kadang suka berfikir juga sih masa' sarjana komunikasi tapi tidak suka keluar rumah berkomunikasi dengan orang lain. Suka sih, tapi entah mengapa di kalangan keluarga (tetangga rumah) saya lebih suka didatangi dari pada saya yang mendatangi mereka. Kenapa?
Ya, karena memang saya baru di tempat ini. Maksud saya di rumah kedua (Darussalam House yang terletak di Tantete) sebelum rumah di Padanglampe Village.
Bahkan, saya baru sadar sejak tahun 2017 pindah kesini ternyata saya belum punya kenalan baru khususnya teman sebaya. Tapi tadi sore, usai menyapu di bawah pohon kersen. Saya berkenalan dengan makhluk bernaa Rafly. Yaa, ia anak kecil umur empat tahunan. Ia memang rajin sekali menengok pohon kersen. Tubuhnya yang masih kecil, kuapresiasi mengenai tekadnya yang selalu berusaha mendapatkan buah kersen dan tadi sore untuk pertama kalinya saya mengajaknya kenalan. Meskipun hanya satu pihak. Hehe... dia saja yang kutanyai namanya, lalu ia tak bertanya balik mengenai namaku. Sambil saya membantunya mengambil buah kersen saya mengamati dari caranya berbicara termasuk pemilihan katanya. Ternyata Rafly lebih lihai berbicara dalam bentuk bahasa Bugis dibandingkan bahasa Indonesia.
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...