Bismillah
Saya mengulang lagi, setelah 2 hari tidak menulis. 2 hari yang lalu sempat sakit, sehari semalam baring terus dan itu membuat saya tidak bisa duduk untuk menulis.
Saya berfikir, bagaimana jika tulisan saya sudah di hari 179 lalu saya sakit dan tak bisa mengetik, pasti nyesek banget soalnya sisa satu tulisan lagi lalu tantangannya akan selesai.
Tapi,,,,
Hmmm...
Mari kita tak memikirkan itu.
Sesuatu yang belum terjadi dan hanya memberi dampak buruk mending tak perlu dipikirkan.
Hmm...
Baru diangka delapan puluan kata saya sudah bingung mau nulis apa.
Seharian ini, sama seperti biasanya di rumah aja.
Hanya saja, saya kedatangan Fairah. Keponakanku, anak dari salah satu sepupu ku.
Sebenarnya, saya tidak cukup sabar menanti adek barunya.
Yaa... habis Fairah udah tak seimut dulu lagi. Ia sudah tidak mau lagi divideo. Hehe.
Saya keluar menyimak tv hanya karena tentang pembahasan lagu Aisyah yang viral sekaligus membawa pro kontranya dikarenakan lirik yang bisa memunculkan bayangan yang tidak-tidak.
Tapi saya tidak mau membahas itu. Meskipun saya apresiasi beberapa yang cover telah memperbaiki liriknya sehingga tidak muncul bayangan yang keliru saat mendengar lirik lagunya.
Hmmm....
Bagaimana kalau saya bahas tentang kue lima menit.
Biasanya jika pulang ke rumah ada tiga makanan yang selalu kurindukan.
Pertama, jagung manis, terang bulan dan kue oreo.
Sebelumnya saya pernah bahas tentang jagung dan saya takkan membahas itu lagi.
Saya memang penyuka makanan manis walaupun sebenarnya saya juga penyuka asin bahkan pedas.
Bisa dibilang kalau saya sudah makan manis, saya akan mau makan asin. Setelah asin, lalu ingin makanan pedas lagi dan begitulah seterusnya.
Saya juga bukan penyuka minuman air dingin, hanya sekai-kali saja. Paling suka minum-minuman hangat meskipun suka juga makan ice cream yang dingin. Emang ada ice panas? Ada kok, meskipun saya belum coba. Ada di tipi, saya pernah lihat.
Wuahhh, seharusnya saya tadi beli ice cream yaaakkk..... tadi keluar ke indoapril (yak sekarang bulan April jadi disesuaikan). Karena sibuk memikirkan virus corona yang bisa saja ada menempel di pintu masuk. Caraku membuka pintunya pun dengan mengikuti sesuai anjuran yakni membuka dengan mendorong menggunakan siku. Tapi kayaknya tadi saya mendorong pakai badan. Yaa... maklum, sikuku kecil, tidak mampu mendorong pintu yang punya tekanan itu.
Ok, mari kita kembali membahas kue lima menit itu. Yang kumaksud bukan terang bulan, tapi kue oreo. Meskipun sebenarnya kue itu terbuat dari gorio-rio, kawe dari oreo.
Beberapa hari yang lalu, saya pernah membuat video sekilas tentang bagaimana membuatnya. Caranya cukup mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama.
Kamu hanya perlu menyiapkan biscuit seperti oreo atau kawenya. Tepung terigu yang dilarutkan dalam air. Kemudian biscuit itu dilumuri dengan tepung yang telah mengental karena air. Kemudian digoreng dengan tingkat kematangan sesuai keinginan.
Bagaimana mudahkan? Sepertinya kamu masih bingung. Ya sudah, kapan-kapan readers harus coba. Saya yakin rasanya hampir sama, selama kamu menggunakan bahan yang sama denganku.
Suara ayam berkokok, baru pukul 21 lewat entah lewat berapa menit. Hpku tercas dan nanti saya hidupkan kalau udah mau upload ini.
Tumbeng sekali saya mengetik ini tidak mengantuk. Biasanya super duper ngantuk dan mata akan berkaca-kaca.
Oiya, tadi siang saya tidur dan melewatkan kerja tugas lagi. Hmmm, saya akhir-akhir ini suka menuda. Mungkin karena tidak ada kata deadline hingga saya sangat santai sekali mengerjakannya.
Hayana oh Hayana. Hentikan kebiasaan suka menunda, titik.
Mendengar suara dubber berita di tivi luar kamar bahwa anak gunung karakatau kembali menujukkan aktivitas terbarunya. Erupsi terjadi dan masyarakat yang masih mengingat bagaimana dasyatnya saat meletus ibu dari gunung anak karakatau itu. Emang kamu pernah lihat? Kayaknya itu loh yang di uang seribu. Timbal balik dari gambar pattimura yang lagi pegang parang. Semoga saja anak gunung karakatau itu hanya memberi peringatan bagi warga yang masih saja kurang sadar karena makhluk viral 2020, Corona.
Suara tangisan Humaerah kecil menangis. Ya, anak kecil itu sedang berada di rumah tanteku (tetangga rumah). Humaerah adalah puteri dari seorang wanita bernama Nurjannah. Wanita itu dulunya masuk dalam kartu keluarga kami. Waktu kecil, ibunya meninggal dan akhirnya diadopsi oleh kedua orangtuaku sampai SMP saja. Karena pas SMA ia pindah di rumah tanteku (tetangga rumahku).
Banyak kenangan saya dengannya, meskipun sepertinya saya hanya mengingat sedikit. ia yang mengajariku membaca dengan penuh kesabaran. Yaa, maklum sewaktu kecil mungkin saya sudah banyak menyusahkannya dengan sifatku yang suka membuatnya jengkel.
Waktu kecil, bisa dibilang saya terlambat pandai membaca. Kelas 3 sekolah dasar (SD) baru saya mengetahui setiap huruf yang terususun menjadi kata –kata dan membentuk kalimat itu. Kedua orangtuaku memang bukanlah tipe penuntut yang harus pintar ini itu, saya dibebaskan mau belajar atau tidak itu terserah saya. Seingatku, malah saya lebih cepat pandai mengaji dibandingkan membaca huruf alphabet. Bahkan hanya satu tahun saya berhasil menyelesaikan pembelajaran membaca al-quran. Di masa itu juga, saya pernah mengungkapkan keinginan ku untuk berhenti sekolah. Maklum, saya dulu itu anak yang suka merasa bosan (ah, sepertinya sampai sekarang). Hanya saja, sabar menjadi pengikat hingga membuatku bertahan.
Kutekan tombol save...
Suara kalung sapi di belakang rumah terdengar jelas meskipun suara instrument dari speaker laptopku juga terdengar jelas.
Sungguh, saya sedang berusaha mengembalikan Hayana yang dulu yang sepertinya agak keluar dari jalur yang telah dibuatnya sendiri.
Suara jangkrik dan cicak ikut terdengar, saling menyahut seolah ingin menunjukkan keberadaannya. Setengah gelas minuman yang kayaknya terlalu manis telah memasuki tenggorokan ini. Kadang kala saya berfikir untuk menjadi vegetarian, hanya karena suka kasihan kalau melihat hewan menjadi santapan. Lihat saja sapi, saya tak pernah berani melihat proses pemotongannya bahkan ayam dan ikanpun sungguh kasihan jika sudah ingin dimasak di atas api yang membara. Seperti bapakku yang suka berucap, "gereni manuku tapi ajana iya katenni" artinya potongmi ayamku tapi jangan saya yang pegang saat dipotong. Saya pikir, rasa kasihan itu wajar ada karena si pemilik lah yang selalu memberi makan setiap hari hingga rasa iba muncul saat hewan itu akan disembelih.
Tapi, bapakku tetap makan kok ayamnya (hehe) yang penting bukan dia yang lihat pas disembeli (dipotong). Kalau saya sih, yang penting bukan saya yang cabut bulu-bulunya. Mungkin, selera makanku akan menghilang meskipun daging-dagingnya sudah dalam bentuk sajian yang gurih lagi lezat.
Kutekan tombol save lagi...
Sepertinya saya mulai mengantuk, meskipun belum menguap. Apa ini karena instrument Yiruma, karena baru saja saya memainkannya setelah merasa cukup mendengar music instrument pertama (entah apa judulnya, tapi saya suka).
Saya memperbaiki posisi dudukku.
Saya mulai menguap kecil.
Ketikan sudah diangka seribu tiga, biar kulebihkan sedikit karena biasanya kalau sudah dicopy di watpad akan berkurang. Saya juga tak tau kenapa bisa, padahal tidak ada kata-kata yang menghilang. Ah, sudahlah. Saya pikir cukup. (Tanete, 11 April 2020|21:59 Wita).
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...