*2} Allah Maha Penyanyang, Yakini.

9 0 0
                                    

Alhamdulillah, saat saya tulis ini saya habis makan jagung rebus. Yaa... walaupun agak hangus karena jagungnya direbus sampai airnya habis. Maklum, saya sambil mengedit dan lupa kalau saya sedang masak. Tapi, justru gara-gara hangus sedikit rasanya jadi agak berbeda dan ada bau hangus tapi mirip jagung bakar.

Jagung lebih tepatnya jagung manis, memang merupakan salah satu makanan favoriteku. Makanan itu seperti candu yang setiap pekan saya akan merindukannya. Maka tak heran, kata jagung masuk dalam pembahasan salah satu sub judul di buku Ca'di.

Sambil mendengarkan sebuah lagu alunan zikir, saya mengetik ini. Tentunya dengan kolaborasi nada ketikan keyboard yang sengaja saya agak tekan sedikit, suara gemiris hujan juga tak mau ketinggalan dari indera pendengaran ini.

Entah mengapa, kok merasa sedih yaa... melihat kondisi dunia sekarang. Saya bukannya panic, lebih kepada sedih saja. Bisa jadi, akan banyak manusia yang meninggal gara-gara virus Corona ini. Yaa, walaupun saya tau Allah swt lah yang menjadi penentu kematian.

Beberapa video, berita online atau tayangan di tv bahwa virus ini hanya sekitar 4% resiko kematiannya. Yaa, saya tau itu. Tapi, bagaimana dengan masyarakat yang sebelumnya telah memilki diagnosis penyakit. Tentunya, ini akan memperburuk kondisi tubuh.

Alunan music berganti lebih slow, menenangkan tapi juga mengharukan. Siapa sangka, di tahun 2020 ini Dunia akan sibuk mengurusi virus.

Masing-masing individu dihimbau agar tetap tinggal di rumah, menjaga jarak, makan-makanan bergizi dan senantiasa menjaga kebersihan. Tapi, saya terfikirkan dengan mereka yang kesehariannya mengandalkan masyarakat outdor dalam mendapatkan rezeki. Jika dunia menjadi sepi, harus mengurung diri dalam rumah. Lalu, bagaimana orang-orang itu mendapatkan uang? Walaupun saya sangat sadar dan sangat setuju bahwa memang tidak semua orang mempunyai gaji, tapi ia pasti memiliki rezeki.

Sudahlah, Hayana. Percaya Pada-Nya. Semua akan baik-baik saja, ada Allah swt yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Tetap berusaha dan berdoa. Lalu, tawakkal.

Malam ini merupakan malam terakhir saya di kos. Insyaa Allah besok, saya akan pulang ke rumah setelah dari kampus tentunya. Mengingat orangtua sudah memanggil berkali-kali, sampai-sampai setiap mereka menelfon mereka akan bertanya, "Kapan pulang?"

Meskipun memang ada himbauan bahwa kita tidak boleh meninggalkan suatu tempat, tapi bagaimana jika mereka membutuhkanku. Mana mungkin, saya membuatnya merasa sedih. Bahwa bersama-sama menghadapi situasi genting ini, akan lebih baik walaupun beresiko.

Bukankah dunia ini Fana? Sementara.

Lalu, mengapa begitu risau. Toh, juga nanti kita akan kembali menemui ajal. Namun, jangan mati bodoh yaaa. Sengaja mendatangi virus hanya ingin mempercepat menghabiskan jatah hidup. Masih banyak mimpi yang harus diwijudkan, baik itu mimpi pribadi maupun mimpi orang lain.

Biarkan mimpi buruk ini tetap berjalan dan kuharap segera berlalu.

Semoga juga kita segera menemukan banyak hikmah atas situasi ini, kita semakin kuat, solid, peduli, bukan saling menjatuhkan, membenci, apatis meskipun kita saat ini harus social distancing atau menjaga jarak gitu.

Ada yang bilang, kita boleh menjaga jarak dengan manusia, tapi kita tidak boleh menjaga jarak dengan Allah swt.

Kita memang memiki jarak, namun semoga doa kita tak berjarak dan senantiasa saling mendoakan.

Ingatanku kembali ke project profil pesantren, yang hingga kini belum rampung. Kuharap bisa selesai esok hari, agar saya bisa pulang tanpa beban video itu. Cukup sudah tugas-tugas tulisan yang hingga saat ini berlum selesai juga.

Lima ratus enam belas, music tetap slow dan saya harus menulis apa lagi?

Semoga besok saya tak lupa pergi beli cat minyak. Sepertinya, saya ingin melukis selama tinggal di rumah sambil menyelesaikan seribu kata ini.

Emang pintar melukis? Nggak juga. Tapi, melukis tak harus pintar, karena melukis bukan tentang rasa suka si pemandang tapi lebih kepada rasa kepuasan tersendiri oleh si pelukis.

Saat ini benar-benar sunyi kos, pikiranku melayang pada ingatan pertama kali saya kesini (akhir tahun 2013). Sudah lama sekali, kadang saya berfikir untuk segera berpindah tempat namun amanah selalu saja menginkatku, yaa meskipun tanpa tali.

Kita benar-benar tak tau, apa yang akan terjadi ke depan. Siapapun yang membaca tulisan garing ini, saya ucapkan banyak terima kasih dan maafkan atas segala kekeliruannya.

Karena sebuah karya akan mengingatkan tentang sosok.

Saya cerita apa lagi yaaa?

Besok juga saya harus ke perpustakaan. 3 buah buku di kamar menunggak selama dua pekan. Malas sekali saya mengembalikannya, bagaimana tidak tiga buku itu belum tuntas saya baca. Makanya, saya uring-uringan mengembalikan, meskipun resikonya saya akan didenda dengan harga yang sepadang dengan semangkok bakso lezat.

Tiba-tiba saya teringat, situasi tadi siang. Jadi ceritanya, saya sedang puasa nazar. Maklum, saya paling suka nazar kalau ada keinginan yang sangat ingin saya terkabul. Benar saja, keinginan saya terkabul dan konsekuensinya saya harus menepati. Dimulai hari Selasa lalu, saya mulai berpuasa. Harus berturut-turut selama tujuh hari dan benar saja sesuai perkiraan. Biasanya, saya akan diuji di hari-hari terakhir. Karena lambat tidur, saya jadi tak sadar bunyi alarm hingga saya tak sahur padahal malamnya saya hanya makan sedikit (hanya 2 sendok). Maka tibalah keesokan harinya sekitar jam 1 usai sholat dzuhur, tubuh rasanya sudah tak sanggup lagi meneruskan. Meskipun beberapa kali, saya melawan agar tidak tergiur dengan air galon yang kelihatannya menyegarkan. Tapi, tubuh serasa ingin pingsan. Maka, kuputuskan mengakhiri demi tubuh yang butuh cairan ini. Setelah makan dan minum, saya tidur karena tubuh masih merasa lemas. Pas bangun, biasanya saya akan merasa bersalah karena perjuangan tak sampai. Tapi kali ini berbeda, berarti keputusanku tidak salah. Entah, apa yang terjadi jika tadi siang saya tetap kekuh untuk tidak membatalkan.

Allah Maha Penyanyang, Allah pasti mengerti kondisiku... hehe. Maafkan diri ini Ya Allah.

Maka konsekuensinya, saya akan mengulang lagi? Yaa sepertinya begitu, padahal sisa dua hari. Tapi, ini bukan pertama kalinya. Beberapa tahun yang lalu kejadian ini pernah terjadi dan saya suka kok puasa. Ada rasa ketenangan tersendiri menjalani keseharian dengan kondisi puasa. Karena kamu, tak boleh marah tak boleh berprasangka buruk dan tak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Maka puasa itu seperti rem dan juga bisa menghindarkan diri dari makan secara berlebihan. Puasa juga bisa bikin awet muda, katanya sih... entahlah.

Lalu, reader akan berfikir pantas saja kurus. Hey, kurus ini adalah anugerah. Menurut, sang Ibu waktu muda ia juga kurus dan setelah melahirkan tubuhnya menjadi melar. Maka nikmatilah bentuk tubuh minimalis ini, bisa jadi kamu akan rindu (batinku).

Setelah ini, apakah saya tidur saja dulu atau melanjutkan editing video. Hmm... entahlah, saya bingung bahas apalagi.

Benar-benar, saya tak peduli dengan tulisan ini apakah focus atau kemana-mana. Tulis saja apa yang ada di pikiran, dan pastikan itu bermanfaat meskipun ada beberapa yang hanya kalimat bertele-tele. Yaaap, seperti kalimat ini, sebenarnya saya sudah mau mengakhiri tapi belum cukup seribu kata. Tunggu yaa, sampai seribu; lalu kulirik bagian pojok kiri bawah aplikasi Microsoft word dan tenyata sudah sampai ke seribu delapan puluh titik. Ok, cukup. Terima kasih telah setia membaca hingga akhir. ;-) Parepare, Ahad 22 Maret 2020 [21:02 wita].

180* DaysWhere stories live. Discover now