Bismillah.
Saat saya ketik ini, saya belum makan malam. Tapi, Alhamdulillah saya sudah makan siang. Yaa, memang saya mengetik ini saat sore hari, menjelang magrib.
Rasanya agak kaku menarikan jari jemariku di atas keyboard setelah hampir sebulan tidak mengetik (menulis) lagi.
Apa yang terjadi pada dirimu Hayana?
Yaa,, karena sibuk dengan rangkaian kata dua puluh ribu kata ilmiah, saya jadi tak menyempatkan waktu untuk mengetik seribu kata ini. Padahal sih, sebenarnya hanya karena manajemen waktuku yang belum baik hingga saya tak kunjung mengetik lagi disini.
Lalu, viewers berpikir... jadi sekarang Hayana tidak sibuk lagi sehingga kembali mengetik seribu kata ini lagi?
Hmmm,,, sepertinya karena membaca buku 'Happy Writing' sehingga saya termotivasi kembali untuk menulis (mengetik).
Sungguh, saya sarankan viewers membaca buku itu... kalau ingin menulis tapi belum memulai juga. Penulisnya sangat cerdas dalam mengungkapkan gagasannya. Saya salut.
Lalu, apa yang akan saya ceritakan?
Beberapa menit yang lalu, sang penguasa dapur menyuruh saya memasukkan benang ke dalam lubang jarum kecil. Viewers, tahu kan bagaimana cara memasukkannya?
Yapp... sesuai di pikiran mu. Saya tak ingin mengetikkannya disini. Dari cara tersebut, saya mengamati satu hal. Bahwa benang yang masuk ke dalam jarum harus kuat dulu baru akan berhasil. Pun seperti kita manusia. Kita itu kadang loyoh, lemas, bukan karena tak makan. Bukan itu maksudku. Tapi, kita loyo, lemas, lunglai (eh, bukan iklan) itu karena kita malas.
Kita??? Yaaa, kita. Kalau gak mau kita. Yaudah, saya.
Karena malas, kita jadi tak berhasil mewujudkan apa yang kita rencanakan. Walaupun di satu sisi, saya juga merasa dibalik adanya kegagalan juga menyiratkan hikmah yang penuh makna.
Seperti, saya yang suka gagal menyelesaikan seribu kataku selama seratus delapan puluh hari. Nyatanya, dari kegagalan itu saya jadi berpotensi memiliki jejak tulisan lebih 180 episode. Yapp, karena saya suka gagal menulis seribu kata per hari. Di satu sisi yang lain, sebenarnya kalau saya berhasil menuntaskan seribu kata ini lebih awal... maka saya bisa membuat komitmen lain. Misalnya, membuat novel barukah atau buku aneh. Hehe.
Saya ingin sekali punya buku aneh viewers... tepatnya sih, buku unik yang anti mainstream.
Tiga tugas video masih menghantui dalam otakku ini. Entah kenapa, saya malas sekali mengerjakan project video. Tadi, saya mau kerjakan tetapi ternyata headphoneku ketinggalan di kos. Saya butuh benda itu, karena sekarang di rumah (Darussalam house) lagi turun hujan.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.
Sungguh, malas tak boleh dibiarkan lama menetap dalam jiwa. Pun termasuk anggapan bahwa 'ini sulit, itu rumit'. Karena sesuatu yang diyakini seperti itu, maka akan benar terjadi adanya. Jadi keraslah pada dirimu sendiri, Hayana. Rajinlah dan atur waktumu. Pun, termasuk kamu viewers.
Bukankah waktu itu takkan pernah kembali?
Hmm...
Saya teringat beberapa moment pekan lalu, di mana saya harus ujian online sampai yudisium online. Namun, moment paling berkesan saat salah satu dosenku meminta saya untuk ikut ke acara Broadcasting Camp. Meskipun sudah menolak 3 kali dengan alasan saya tak tau jalan (ya, memang saya tidak tau meskipun saya pernah kesana. Bisa dibilang saya lupa). Akhirnya, seorang mahasiswi bersama juniornya yang punya mobil menjemput saya di kos. Pada akhirnya, saya pun memutuskan untuk menerima jemputan itu. Saat itu, saya penasaran... sebenarnya Allah ingin menunjukkan apa padaku hingga situasi seolah mendorongku harus kesana.
Malam itu gerimis, jalan agak jauh dan masuk lorong. Di mobil, saya hanya memperhatikan temenku yang bawa mobil. Menganalisis apa ia sudah lama bawa mobil. Hehe, bukannya takut... Cuma ingin tau saja. Tapi rasa penasaranku itu tidak saya lontarkan dalam bentuk pertanyaan. Saya malah sibuk bertukar informasi dengan temanku yang satunya. Kami membahasa tentang kampung muallaf di pelosok Pinrang. Dulu, waktu ke sana... saya sempat berpikiran 'bagusnya tinggal disini mengabdi tanpa social media' sepertinya hidup akan lebih bermakna. Bukankah kadangkala, social media membuat riuh pikiran kita?
Ok, lanjut... di acara broadcasting camp.
Tiba di lokasi, mataku mencari ibu dosen yang menyuruhku datang. Seorang mahasiswa (junior satu tingkat bawah) menegur untuk singgah duduk bercerita menikmati kopi. Namun, kutolak dengan ucapan 'saya setor muka dulu'. Yaiyalah, wajahku harus dilihat dulu sama si ibu dosen pengajak. Hehe.
Ibu dosen ternyata berada paling belakang lokasi. Di sana ada sebuah panggung. Saya mendekat sambil melempar senyum meskipun senyumku tak terlihat karena tertutupi masker. Kurasa ekspresi mataku pun tak terlihat karena lampu cukup redup malam itu. Ia sibuk mengatur mahasiswa lain agar merapikan karpet yang akan diduduki nanti oleh peserta lain.
Firasatku berkata, sepertinya nanti saya akan disuruh berbicara di depan mereka. Saya pun membayangkan apakah saya harus berkeliling di antara mereka atau cukup duduk tenang di atas panggung.
Saat mereka sudah berkumpul, saya mencoba mengenali wajah mereka satu persatu. Namun, hanya beberapa orang saja yang saya kenal. Kulihat juga ada Ilham. Seorang mahasiswa yang satu bulan lalu juga saya kunjungi rumahnya bersama bu dosenku (ya, kala itu saya diajak ke daerah pengungsian korban gempa. Betapa dag dig dugnya hatiku saat itu, mengingat gempa masih bisa datang kapan saja). Sepulang dari lokasi pengungsian (Majene dan Malunda), kami singgah di rumah Ilham yang berada di Polewali Mandar. Saat ke rumahnya, saya kembali teringat dengan project pembuatan video profil pesantren di tempat itu awal tahun 2020. Saat itu, desas-desus corona yang masuk ke Indonesia mulai terdengar.
Hal yang tak bisa kulupakan di rumah Ilham adalah rasa hangat keluarganya. Saya salut dengan kedua orangtuanya yang memberikan pelayanan terbaik bagi kami di tengah kesederhanaan. Mereka menyajikan durian, rambutan dan nasi ikan ayam (tolong jangan ngiler, hehe). Tapi, saya merasa aura rumah Ilham yang menentramkan sangat terasa dan ternyata itu karena di rumahnya setiap malam... anak-anak di kompleks rumahnya akan berkumpul untuk mengaji. Sungguh, rumah sederhana namun penuh berkah. Semoga Ilham dan keluarganya senantiasa diberkahi dan diridhoi oleh Allah swt. Aamiin.
Oiya, saya juga teringat dengan keponakannya yang imut. Gadis kecil yang sangat sopan. Kenapa? Karena anak kecil itu selalu bilang iye'. Sungguh, menggemaskan. Hehe
Eitss.... Kita kembali ke situasi Broadcasting Camp...
Setelah peserta berkumpul, bu dosen mempersilahkan saya dan Rahmat (junior satu tingkat bawah) untuk berbicara di depan peserta terkait LK Channel. Sungguh, saya kan tidak terlalu aktif di LK Channel (situs akun youtube, wadah para mahasiswa dalam mempublish karya). Jadi, saya mempersilahkan Rahmat untuk berbicara lebih awal. Sambil memerhatikan mereka menyimak materi Rahmat, saya berpikir... apa yang harus saya sampaikan di depan mereka? Di saat saya datang tanpa persiapan apa-apa. Otakku berputar-putar mencari ide, kira-kira topic apa yang mesti dibahas sehingga topic itu tidak hanya sekedar berlalu begitu saja? Saya ingin mereka mengingat dan merenungi apa yang saya sampaikan.
Viewers, karena sudah cukup seribu kata... Insyaa Allah, besok saya lanjut lagi yahhh... hehe. Terima kasih sudah setia membaca dari awal hingga akhir J Makna pelajaran apa yang kau temukan?
Tanete, 13 Februari 2021 pukul 17:50 wita.
YOU ARE READING
180* Days
AléatoireSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...