Bismillah.
Sebelum saya mengetik ini, temanku memotong ketikanku karena katanya ia mau curhat. Temanku ini perempuan ya. Beberapa hari ia nginap di rumah kos. Saya terinspirasi darinya tentang kepandaiannya dalam merapikan pakaian. Ya, maklum saya bukanlah orang yang rapi. Hehe.
Tapi, pada dasarnya setiap orang rapi kok, 'kalau mau'. Hehe.
Hmm.... Bagaimana kalau kita bercerita tentang hari kemarin. Soalnya seharian ini saya di kamar saja. Sedangkan kemarin saya outdor.
Ini tentang keajaiban efek dari kepasrahan.
***
Menjelang pukul 14.00 wita, saya gelisah karena temanku belum juga membalas smsku. Ingin kutelfon tapi saya tak punya TM, ingin kutelpon via whatsapp tapi temanku offline.
Berkali-kali saya mencoba mendaftar paket Telk*** tetap saja gagal. Akhirnya saya merelakan pulsaku berlalu untuk mendapatkan kabar temanku. Tentu, saya berbicara dengan kilat. Hehe
Setelah mendapatkan kabar dari temanku, sayapun menuju ke rumahnya untuk menjemputnya. Angin bertiup lumayan kencang, tubuh kurus lagi ringan ini bisa saja terbang jika saya melaju dengan cepat. Akhirnya, kupelankan sepanjang jalan.
Hingga temanku naik menjadi boncenganku, laju motorku kutingkatkan kecepatannya. Meski was-was dikarenakan jalan yang lumayan berkelok-kelok lagi banyak kendaraan lain, saya tetap berusaha melaju dengan tenang.
Suara hpku berbunyi beberapa kali, awalnya kupikir sang kepala keluarga yang menelfon. Tapi ternyata bukan. Laju motor kuhentikan untuk mengetahui siapa sebenarnya penelfon itu. Dan ternyata itu temanku yang juga mau ikut. Akhirnya, kami memutuskan menunggu ia di persimpangan jalan tepatnya di dekat rumah Hera [temanku juga].
Awalnya saya dan temanku Yuni, mengira kalau Hera sedang tidak berada di rumahnya. Maka kami memutuskan untuk nongkrong di sudut pagarnya.
Yuni menegur sebuah tanaman berbuah. Ia bertanya padaku jenis tanaman apa itu? Saya hanya menjawab kalau itu bunga.
Beberapa menit nongkrong di tempat itu, tiba-tiba seorang wanita berkhimar merah maroon keluar dari dalam. Awalnya saya tak memperhatikan, namun saat wanita itu ingin kembali masuk ke rumahnya, saya langsung melihat wajahnya.
Seketika itu saya heboh sendiri dan memberitahu Yuni tentang sosok siapa yang kulihat. Dan ternyata itu Hera.
Kami pun heboh bertiga di pinggir jalan pada siang bolong.
Lalu kami mewawancarai Hera tentang tanamannya itu, dan ternyata nama tanaman itu sangat popular di telinga. Tapi, saya baru tahu kalau begitu wujudnya. Namanya, bidara. Kalian tahu kan? Apa tempe? Hehe.
Coba Tanya om Google atau tante Youtube apa itu bidara dan apa manfaatnya? Mungkin kalian akan takjub karena manfaatnya sekaligus merasa merinding. Cobalah cari tahu, jangan cari tempe yak.
Sekitar setengah jam, akhirnya temanku tiba. Kamipun berbicang sejenak lalu kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah target utama.
Meski jalan teringat samar, namun kami tetap melaju. Beberapa kali berbelok, hingga belokan kedua, hampir saja kendaraan kai oleng gara-gara aspal yang lumayan tinggi dan tidak rata, apalagi di sisi kanan dan depan ada mobil truk. Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan kami menikmati rasa 'aman'.
Akhirnya kamipun tiba di rumah teman. Senyum, intonasi dan artikulasi bahasanya masih sama seperti tahun lalu. Padahal ia baru saja pulang dari perantauannya. Awalnya saya ragu untuk terlalu dekat di tengah pandemic virus viral ini. Namun, kuamati sepertinya ia biasa-biasa saja.
Memasuki waktu sholat ashar, kamipun izin untuk menunaikannya. 3 cangkir teh susu menanti untuk diteguk.
Usai sholat, saya kembali duduk di sofa. Pandanganku mengarah ke langit-langit rumah yang berwarna pink. Kali ini saya terinspirasi dari kerapiannya.
Pandanganku lalu mengarah ke jajaran bingkai foto yang terlihat tersusun rapi. Lalu, ingatan ku flashback ke Darussalam house. Beberapa kali bingkai fotoku pecah, pertama tanpa senggolan kedua dengan senggolan. Tentu, kacanya pecah namun tidak dengan fotonya. Ekspresi fotonya tetap tersenyum lebar sambil memakai toga.
Setelah berbicara panjang kali lebar, anak kecil temanku sudah merasa tidak nyaman tinggal di dalam rumah. Saya pun juga merasa bahwa lebih baik sekarang kita pulang. Dikarenakan waktu yang semakin memasuki sore.
Akhirnya, kami pun pamit. Tentu sebelum pamit, kami update foto dulu. Cekrek-cekrek-cekrek dan hasilnya beberapa blur. Hehe.
Yaudah biarkan saja.
Yuni tetap memilih duduk di atas motorku dan sayapun membiarkannya karena mengingat angin yang bertiup juga semakin kencang. Tentu, saya akan semakin lambat jika beban ringan di atas motor.
Lihat saja layang-layang yang dapat terbang tinggi karena ringan dan bertemu angin.
Tiba-tiba otak kecil ini terpikirkan, "kalau begitu, jika ada manusia yang ingin terbang tinggi. Maka pertama-tama dia harus membuat dirinya terasa ringan tanpa beban. Beban itu seperti kemarahan, rasa dengki, iri hati, sombong, ketidakpercayaan diri dan hal-hal negative lainnya. Lalu apa anginnya? Anginnya adalah kesempatan. Yap, kesempatan.
Btw, readers. Terima kasih ya sudah mau meluangkan kesempatan untuk membaca ketikan ini.
Dan akhirnya, saya pun mulai mengantuk.
Beberapa potong tahu isi mengodeku untuk dikunyah, namun saya sudah sikat gigi. Ternyata status 'sudah sikat gigi' terkadang membuat kita malas makan. Ah yang benar saja?
Eitss... kita kembali ke topic menuju pulang.
Laju motor kulambatkan saat melewati jalan berdebu lagi berlubang. Otak kecil ini membayangkan kalau hujan pasti becek tapi tetap ada ojek kok [tolong dibaca tanpa aksen Cinta Laura]. Eh, udah dibilangi tetap saja dilakukan.
Menemui lorong saya segera bertanya dengan Yuni. Apa benar ini lorong pulang? Karena meskipun tadi melewati jalan yang sama, tetap saja saya belum hafal. Yuni pun segera menyahut bahwa benar. Sayapun segera berbelok tanpa memencet lampu warna orange kanan, seketika kulihat dari arah belakang hanya temanku. Syukurlah, namun saya tetap merasa bersalah sih, seharusnya saya menyalakan. Cuma saya benar-benar tidak sempat.
Melewati jembatan yang lumayan besar, laju motor tetap melaju dengan kecepatan sedang. Sebuah mobil putih di depanku juga melaju. Tak ada niat untu mendahului selama lajunya masih diatas kecepatanku. Setelah melewati beberapa kilometer, mobil putih itu berhenti, sepasang mata ini memerhatikan lampu orange atau merah sebelah kanan. Namun, tidak terlihat. Akhirnya, saya memutuskan untuk melaju mendahului dari arah kanan. Dan tan kusangkan.... Ternyata mobil putih itu malah berbelok ke arah kanan. Tapi sepertinya ia ingin masuk ke dalam rumah. Tangan ini seolah tak ingin mengerem, saya pun pasrah seketika itu, kulihat body mobil sisi kanan siap menghantam motor dan kaki kiri kami. Namun, dengan Kuasanya-Nya tangan ini seolah dipandu untuk menghindari mara bahaya itu. Kami pun selamat dan pengendara di belakang kami seperti kaget. Karena mereka menyangka bahwa kami akan terjatuh. Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan kami menjalani scenario terbaik.
Saya mencoba untuk tetap tenang dan seimbang. Temanku megacungkan jempolnya, namun saya lebih takjub pada Allah. Saya mengingat sebuah buku yang selalu menyuruh pembacanya agar tetap ikhlas, pasrah lagi sabar.
Benar-benar, kejadian itu patut kami syukuri atas keselamatan yang tercurahkan kepada kami. Entah apa yang terjadi kepada kami, jika situasi buruk teracckan pada hari itu. [Senin, 27 July 2020|21:43 wita].
YOU ARE READING
180* Days
RandomSeribu Kata selama Seratus delapan puluh hari. Jika ada satu hari terlewatkan tidak menulis, maka ulangi lagi meskipun sudah di hari seribu tujuh puluh sembilan. Saya mencoba mengikuti saran Tere Liye, saya harap suatu hari ia akan membaca tulisan i...