Luruskan Niat [46]

6 0 0
                                    

Bismillah.

Saat si pengetik lalai karena smartphone, akhirnya ia akan kembali menyesal. Bagaimana mungkin saya menyia-nyiakan waktu yang jelas-jelas waktu itu takkan pernah kembali?

Kita sudah tau bahwa waktu itu takkan kembali, namun sayang sekali karena kita tetap saja lalai. Ingin kusalahkan jin dan setan, namun kuakui ini karena kesalahanku sendiri mengapa terlalu lemah terhadap godaannya.

Lalu, hati ini pun akan membatin bahwa saya takkan mengulanginya. Maka bantu hamba-Mu ini Ya Allah. Aamiin.

***

Kulirik jam cokelatku yang sangat serasi dengan warna kulit cokelatku pula. Ia berdetak layaknya jantungku. Namun, kali ini jantungku yang jauh berdegup lebih kencang.

Tak hanya meluruskan kaki dalam posisi dudukku menyandar di salah satu tembok kamar, namun kuluruskan pula niatku.

"why? Kenapa kamu memilihnya?" tanyaku dalam diri sendiri.

Pertanyaan itu akan berkolerasi dengan niat yang tersembunyi dalam segumpal daging ini.

Niat baik itu penting bahkan sangat penting. Tak hanya baik juga harus benar. Karena bisa jadi ada yang baik tapi tidak benar sedangkan yang benar insyaallah baik.

Aku mencoba membayangkan wajahnya, namun yang tergambar sangatlah samar lagi blur. Ya, aku memang mencoba tak selalu melihat fotonya meskipun dapat kulihat dengan mudah. Aku hanya tak ingin membayangkan sesuatu yang belum halal untukku. Memang, faktanya bukan hanya makanan, minuman, skincare saja yang halal pun termasuk manusia.

Menilisir jauh ke dalam lubuk hati, "why? Kenapa kamu memilihnya diantara setiap pilihan? Jangan-jangan kau hanya bosan menunggu saja," batin gadis berkacamata itu mendeteksi.

Bahwa penantian yang sekian lama kulakukan, kini berbuah manis. Hanya saja Aku tak benar-benar mengetahui apakah ia adalah orang benar yang kunanti atau hanya sekedar penguji di waktu penantiaku ini?

Sungguh, Aku tak tahu apa-apa lagi tempe.

Hatiku kemudian menelusur ke milyaran sel-sel otakku, "logikanya, jika aku bersamanya maka aku akan bisa melakukan banyak hal positif meskipun penuh dengan keterbatasan".

Pemandangan pepohonan, lembah hijau hingga deretan pegunungan terbayang jelas di otak kecilku. Hingga suhu kabut dapat terasa jelas meskipun belum benar-benar nyata menyelimuti.

Lalu, hatiku kembali terketuk bahwa apa yang kamu bayangkan belum tentu benar adanya. "kadangkala realita tak seindah ekspektasi," bantahnya.

Mentalku seolah menuntut untuk disiapkan tentang kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Jika niatku lurus, maka semunya akan baik-baik saja. Maka kutanyakan lagi, "why? Mengapa kamu memilihnya?".

Jika ekspektasi belum tentu realita maka niat harus jelas di awal. Kejelasan harus mengandung dua isi pokok, yakni kebenaran dan kebaikan.

Kuluruskan niatku kembali, hati dan otak pun terus berargumen dalam raga.

Kata otakku, "Kau bisa jadi akan tenang bersamanya namun ketenangan harus kau ciptakan sendiri". Lalu hatiku berteriak bahwa ketenangan hanya akan kau dapatkan dengan mengingat Sang Penciptamu yang Maha Kuasa. "Dengan mengingat Allah maka hatimu akan menjadi tenang". Sungguh beruntung bagi setiap jiwa yang mampu merasakan ketenangan itu.

Memangnya ada yang tidak bisa?

Ada. Hati yang keras. Hati yang buta. Hati yang tidak peka.

Baginya, ketenangan hanya bersumber pada kesenangan duniawi semata.

180* DaysWhere stories live. Discover now