2. Merasa ganjil

11.4K 621 5
                                    

Enam bulan tidak bisa melihat dunia luar, sudah membuat Sarka merasa sangat tersiksa. Dan sekarang ini, matanya sudah berfungsi dengan normal. Betapa bersyukurnya Sarka karena Tuhan masih memberikan kesempatan pada dirinya untuk menikmati alam ciptaan-Nya yang sungguh mempesona.

"Nah, sekarang kita sudah sampai di rumah," ujar Maria seraya tersenyum lebar menatap Sarka. "Gimana? Sarka seneng, kan?" tanyanya.

Sarka mengangguk antusias. Tidak ada yang berbeda dengan rumahnya seperti enam bulan yang lalu. Semuanya nyaris sama seperti terakhir kali Sarka melihatnya. Yang membedakannya sedikit adalah kini ada beberapa pot bunga yang berada di teras rumah. Selebihnya, sama saja seperti dulu.

"Sarka seneng Bu," ucap Sarka jujur. "Sarka seneng banget bisa kembali melihat."

"Ya udah, yuk sekarang masuk?"

Tanpa pikir panjang lagi, Sarka mengangguk mantap. Keduanya lantas melangkah ke rumah. Maria mengambil kunci rumah dari dalam tasnya, kemudian membuka pintu. Setelah bunyi klik terdengar dua kali, barulah Sarka mendorong pintu. Ibu dan anak itu pun akhirnya melangkah memasuki rumah.

"Sarka ke kamar dulu ya Bu?" ijin Sarka kepada ibunya, ditangannya terdapat tas berukuran cukup besar untuk menampung beberapa baju karena sudah seminggu ia berada di rumah sakit untuk menjalani operasi matanya.

Maria mengangguk, mengiyakan pertanyaan putra bungsunya. "Iya, masuk gih ke kamar. Mau ibu bantu bawa barang-barangnya?"

Menggeleng pelan, Sarka angkat bicara seraya memamerkan senyum tipis. "Nggak usah Bu, Sarka mampu kok."

"Ya udah, ibu juga mau pergi ke kamar dulu ya?"

"Iya Bu."

Begitu Maria membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh dari posisi Sarka berdiri, cowok itu pun lantas mulai berjalan menuju kamarnya. Ketika Sarka sudah sampai di dalam kamarnya yang ukurannya cukup luas, cowok itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebelum akhirnya ia mendudukkan dirinya di kasur. Kamarnya tidak ada yang berubah, semuanya nampak sama. Sarka tersenyum kecil, itu artinya Maria mengingat pesannya agar tidak mengubah keadaan kamarnya.

Rasa lelah yang menggelayuti membuat Sarka lantas merebahkan tubuhnya di kasur. Kaki cowok itu masih menjuntai ke bawah. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamarnya. Seperkian detik berikutnya, Sarka mengingat kejadian kemarin di rumah sakit, beberapa saat setelah dirinya bisa melihat.

Sarka mendesah panjang. "Gue nggak mungkin salah lihat, semuanya jelas banget," gumamnya pelan. Bayangan tentang anak kecil perempuan dengan baju berdarah yang bercampur dengan tanah membuat pikiran Sarka semakin runyam.

Sarka memejamkan matanya, apalagi ketika anak kecil itu tiba-tiba saja terbang di atasnya, tersenyum lebar seraya mengeluarkan cekikikan yang membuat Sarka mati kutu di tempat. Sarka ingat betul, apalagi sewaktu bocah itu menyeringai, menampakkan giginya yang hitam, kedua bola matanya benar-benar seperti bisa ditembus. Dan warna kulitnya, Sarka ingat betul soal yang satu ini. Kulit bocah itu benar-benar tidak manusiawi, terlalu pucat menurut Sarka. Nyaris berwarna putih.

"Ibu salah, gue nggak mungkin berhalusinasi. Gue ingat betul, gue nggak bohong. Bocah itu ... " Sarka menggelengkan kepalanya pelan, memilih tidak meneruskan ucapannya.

Bukan itu saja, kemarin saat Sarka dan ibunya hendak makan di kantin rumah sakit. Sarka juga melihat sesuatu yang janggal dan menyeramkan. Dan Sarka tahu jika makhluk itu tak kasat mata. Bagaimana tidak, Sarka tidak mungkin tidak tahu tentang makhluk itu. Wajahnya gosong, benar-benar hitam seperti habis dibakar. Tubuhnya dibungkus oleh kain putih dan tubuhnya diikat, sosoknya menyerupai bantal guling. Itu pocong, jelas. Sarka baru pertama kali melihatnya, sebelumnya ia hanya mendengar sosok hantu satu ini dari cerita masyarakat, juga beberapa cerita di situs internet. Sarka tidak tahu bahwa melihatnya langsung, jauh-jauh lebih menyeramkan.

Shadow Scent (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang