Sarka, Edo dan Nadine duduk melingkar di karpet bulu yang berada di alas kamar Nadine. Mereka saling bertukar pikiran.
Mendesah panjang, Sarka berkata lirih. "Bu Indah udah nggak ada, dan itu gara-gara gue juga," gumamnya pelan.
"Jangan nyalahin diri lo terus Sar. Lo juga nggak tau apa-apa," ucap Edo sembari mencengkeram lengan Sarka. "Lo nggak tau kenapa semua ini bisa terjadi."
Nadine menelan ludahnya, ia menatap Sarka yang tengah menundukkan wajahnya lantaran cowok itu begitu merasa bersalah atas semua kematian orang-orang. "Apa yang dikatakan Edo benar Ka. Kematian Metta, Arial, ayahnya Vina dan bu Indah, semuanya nggak ada hubungannya sama lo."
"Nggak ada hubungannya sama gue gimana?" Sarka membalas perkataan Nadine, ia mengangkat wajahnya. Ditatapnya Nadine dalam-dalam. "Jangan ngaco Dine kalo ngomong. Buku itu punya gue, dan mereka yang meninggal karena namanya tertulis di buku ini." Sarka mengangkat buku bersampul coklat miliknya. "Dan satu lagi yang harus lo berdua tau, nggak akan ada nama-nama itu di buku aneh ini kalo gue nggak mimpi aneh itu. Jadi ... Semua ini tentu saja berhubungan sama gue. Gue emang nggak bunuh mereka, tapi meninggalnya mereka secara nggak langsung adalah gue pelakunya."
"Jangan ngomong sesuatu yang bodoh Sar!" Edo menukas kesal dan marah. "Sekarang gini, gue tanya sama lo deh. Memangnya lo mau semua ini bakal terjadi? Memangnya ini keinginan lo kalau ada nama-nama mereka di buku aneh punya lo itu? Memangnya keinginan lo buat minta mimpi buruk itu? Memangnya keinginan lo kalau ini semua bakal terjadi? Enggak kan Sar?! Jadi gue minta lo buat stop ngomong kalau ini semua salah lo. Stop nyalain diri sendiri karena semua ini memang bukan salah lo!"
"Terus salah siapa?" Sarka membalikkan pertanyaan. Ia menatap Edo dengan kilatan matanya yang tajam. Sarka meneguk ludahnya dengan kasar. "Kenapa diam aja? Gue lagi tanya sama lo. Kalau bukan salah gue, salah siapa? Kenapa diam aja Do? Kenapa lo nggak jawab pertanyaan gue?!"
Edo masih saja diam karena ia tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Sarka.
Sarka tersenyum miring, tawa hambarnya keluar dari bibirnya. "Lo nggak bisa jawab, kan? Nggak ada siapapun yang bisa disalahkan selain gue."
"Memangnya kematian mereka perbuatan lo sampai lo nuduh diri sendiri kayak gini Ka?" Nadine melempar pertanyaan untuk Sarka. Ia mendukung Edo.
Kali ini Sarka yang diam.
"Memang itu mimpi lo, memang itu buku lo juga. Tapi memangnya lo ngerasa kalo lo ngelakuin itu karena keinginan lo sendiri? Nggak, kan? Di sini Edo nggak salah Ka! Lo jangan nuduh diri lo sendiri."
Sarka mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia menyenderkan tubuhnya di tembok. Wajahnya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamar Nadine. Dengan suara seraknya, Sarka menyeletuk, "gue capek Do, Dine. Gue lelah ..."
"Gue paham apa yang lo rasain Ka, gue dan Edo ngerti posisi lo." Nadine berusaha menenangkan Sarka, ia menepuk pelan pundak Sarka berulang kali.
Sarka memejamkan matanya serapat mungkin. "Gue capek, mau sampai kapan semua ini bakal terjadi? Gue juga capek nyari bukti dan berusaha menelusuri perkara ini. Tapi apa? Hasilnya nihil. Gue nggak nemuin apapun. Justru gue malah semakin pusing dan takut."
"Lo harus yakin kalau semua masalah pasti ad—
"Ada jalan keluarnya maksud lo?" Sarka tertawa sumbang. "Jalan keluar apanya? Gue malah semakin tersesat. Bukannya nemuin bukti yang akurat, gue malah terjebak. Siapa korban selanjutnya? Siapa yang bakal jadi target mimpi buruk gue lagi? Siapa?!"
Edo dan Nadine bungkam seribu bahasa. Keduanya saling pandang, tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Sarka. Keduanya juga tidak tahu harus berbuat apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...