50. Duka

1.1K 139 10
                                    

Satu bulan kemudian ...

Dengan perasaan hancur dan rasa bersalah yang begitu membengkak lebar, lengkap dengan air mata kepedihan dan napas yang terputus-putus, Sarka terduduk lemas di tanah. Dadanya terasa sakit, dunianya hancur berkeping-keping. Semangat hidupnya nyaris menghilang begitu saja.

Marah, kesal, sedih, hancur, kecewa, semuanya membaur menjadi satu didalam ulu hatinya. Semua ini tidak akan terjadi jika bukan karenanya, berulang kali Sarka menyalahkan dirinya, memukul dadanya dengan sangat keras, merutuki dirinya yang begitu bodoh. Karena dirinya, semua ini terjadi, semua terjadi karena Sarka, ia tidak bisa berhenti untuk menyalahkan dirinya.

Sesak tidak mau menghilang dari dadanya, tangis Sarka semakin terdengar kencang. Dengan mata sembabnya, Sarka menatap nisan dihadapannya. Pandangannya bahkan sampai mengabur lantaran air matanya menumpuk di kelopak matanya.

Sudah satu bulan berlalu semenjak Alan dikebumikan, dan satu bulan yang terasa sangat lama bagi Sarka. Awalnya yang semula terasa normal, kini tidak lagi sama.

Tangis Sarka semakin pecah. Tidak mungkin ia tidak menyalahkan dirinya. Alan tidak akan pergi jika bukan karena dirinya. Sarka menangis sesenggukan, perlahan tangannya bergerak menyentuh batu nisan di hadapannya. Tangan Sarka bergetar, seluruh tubuhnya terguncang. Sarka begitu lemah dan tak berdaya, ia tidak menyangka dan belum bisa terima bahwa semua ini akan terjadi.

Sarka belum bisa mengkhilaskan Alan. Penyebab Alan sekarang dipeluk oleh dinginnya tanah adalah karena perbuatannya. Sarka merasa sudah membunuh abangnya. Bukan merasa lagi, Sarka memang membunuh Alan. Ia menganggap dirinya adalah pembunuh. Pembunuh keluarganya, pembunuh semua orang yang sudah terlebih dahulu dikebumikan.

"Bang Alan ...." Sarka berguman lirih dengan suara seraknya, tarikan napasnya memberat, matanya semakin berkaca-kaca. Kembali ia menelan ludahnya dengan kasar, "... Gue minta maaf bang."

Vokal yang keluar dari bibir pucatnya, terdengar begitu pilu, menyedihkan dan penuh dengan rasa bersalah yang semakin membengkak.

Seolah memberi maaf memang semudah itu, seolah Alan bisa hidup lagi dengan kata maaf yang terlontar dari mulutnya, seolah semuanya akan kembali berjalan normal dan baik-baik saja.

Meskipun begitu, Sarka tahu jika kata maaf tidak akan cukup untuk membayar semuanya.

Banyak pertanyaan bercabang yang memenuhi pikiran Sarka.

Apa yang harus dirinya lakukan sekarang?

Apakah dirinya bisa tenang dan damai setelah ini?

Bagaimana caranya melanjutkan hidup tanpa terbayang-bayang fakta bahwa dirinya adalah seorang pembunuh?

Dan satu lagi pertanyaan yang paling mencekiknya.

Hukuman apa yang pantas dirinya terima sekarang?

Desahan kasar dan tajam lolos dari mulutnya. Tidak ada lagi jalan keluar, ia sendirian, hilang arah dan terjebak oleh kesalahan yang sudah ia perbuat.

Cowok itu ... terlalu terpuruk untuk bisa diselamatkan.

Angin bertiup begitu kencang, gesekan antar ranting pohon terdengar bergemerisik, daun berguguran jatuh dan terbang mengikuti arah berlalunya udara.

Sarka semakin lemas dan tidak berdaya, walaupun ia sudah mati-matian agar air matanya tidak tumpah, tapi tetap saja air matanya terus mendesak untuk keluar dari pelupuk matanya. Sarka mencoba bertahan, meskipun jauh dari lubuk hatinya yang paling jauh dan mendasar, ia tidak mempunyai pendirian lagi.

Semua kejadian ini, sukses membuat hidup Sarka terguncang dan runtuh.

Semuanya sudah telanjur, Sarka gagal mencegah kematian Alan meskipun ia sudah mengerahkan semua tenaganya untuk melakukan itu. Apa yang ia lakukan sungguh sia-sia, hasilnya nihil. Sekuat apapun ia berusaha menghentikannya, hasilnya tidak berubah sama sekali.

Shadow Scent (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang