3. Kamar Alan

6.1K 487 2
                                    

"Kalau Sarka boleh tahu, siapa yang donorin mata buat Sarka?"

Maria menelan ludahnya dengan kasar, otaknya sudah berpikir keras mencari jawaban yang tepat, tanpa menimbulkan pertanyaan lain. Maria kemudian tersenyum tipis, lantas wanita setengah baya tersebut berdiri dari duduknya, melangkah mengitari meja, kemudian duduk di sebelah Sarka.

Maria mengelus pelan puncak kepala putranya, sebelum pada akhirnya ia berkata sesuatu, menjawab pertanyaan Sarka. "Sarka, kamu nggak usah mikirin itu, ya? Nggak penting buat kamu tahu siapa yang donorin mata, yang paling penting sekarang kamu udah bisa lihat lagi."

"Tapi Sarka pengin tahu bu," balas Sarka cepat. "Siapa orang baik ini yang rela matanya dipake Sarka? Apa dia masih hidup? Atau susah meninggal? Sarka cuma pengin ngucapin terima kasih. Itu aja."

"Nggak perlu," tegas Maria sambil menggeleng mantap. "Sarka nggak perlu tahu, intinya orang ini sangat baik. Udah ya jangan dibahas lagi. Kamu baru balik dari rumah sakit, jangan terlalu banyak pikiran. Nanti kamu malah jatuh sakit."

Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban yang dirinya mau, akhirnya Sarka menyerah juga. Cowok itu mengangguk lesu, meskipun ia sangat penasaran siapa gerangan orang yang berbaik hati ini.

Siapapun dia, gue berterima kasih banget karena gue bisa melihat lagi. Sarka bergumam dalam hati.

"Udah selesai bu, masakan ibu selalu enak. Sarka suka!" Pujian dari putranya, membuat Maria tersenyum lebar. Sarka berdiri dari duduknya, "Sarka mau pergi ke kamar lagi ya Bu? Atau ibu minta Sarka melakukan sesuatu?"

"Iya, kamu ke kamar aja. Istirahat dulu, nanti jangan mandi, ya?"

"Siap bu!" Sarka menjawab lantang, ia pun kemudian mulai melangkah lagi menuju kamarnya. Sarka berniat menyalahkan ponselnya yang disimpan di laci kamarnya. Sudah enam bulan berlalu benda canggih itu tidak diaktifkan, pasti banyak sekali pesan yang berdatangan.

Ketika ia hendak kembali ke kamarnya, entah kenapa ia berdiri di depan pintu kamar Alan—abangnya, yang sedikit terbuka. Sarka berhenti melangkah, ia sedikit melihat ke dalam lewat celah pintu. Entah kenapa, ada keinginan dibenak Sarka ingin masuk ke dalam kamar abangnya itu.

Sekarang masih pukul empat sore, abangnya masih bekerja. Alan biasanya baru pulang ke rumah pukul lima sore, itu sudah yang paling cepat. Biasanya jam enam waktu Maghrib, Alan paling sering pulang diwaktu itu.

Pintu terkuak lebar ketika Sarka mendorongnya lebar-lebar. Kemudian, cowok itu menolehkan kepalanya ke belakang, hanya untuk memastikan bahwa Alan benar-benar belum pulang. Tidak ada salahnya kan Sarka masuk ke kamar kakaknya?

Cowok itu tertawa pelan, kemudian kembali menutup pintu setelah posisinya sudah berada di dalam kamar Alan. Yang disukai Sarka dari kamar abangnya ini adalah, banyak sekali komik yang berjarak rapi di rak lemari. Memang, abangnya maniak komik. Sarka suka meminjamnya. Dan, koleksi komik Alan bertambah banyak semenjak terakhir kali Sarka melihatnya, enam bulan yang lalu.

Sarka mendekat ke arah lemari, ia hendak menarik satu komik dari dalam rak, namun sebelum ia sempat melakukannya, Sarka terlebih dahulu tertimpa tumpukan komik yang jatuh dengan sendirinya.

"Aduh ...." Sarka meringis pelan, ia menatap lantai yang sekarang penuh dengan komik. "Kok bisa jatuh sendiri dari lemari?" tanya Sarka pelan, ia menghela napas panjang. Sebelum ia berjongkok dan memunguti komik-komik yang jatuh tersebut, Sarka terlebih dahulu mendongak ke atas.

Shadow Scent (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang