45. Merencanakan

1.3K 100 3
                                    

"Bang Alan?!" Vokal Edo naik beberapa oktaf begitu Sarka memberitahu siapa nama yang tertulis di buku aneh miliknya. Edo menatap Sarka lamat-lamat, meneliti lebih dalam raut wajah sohibnya itu. Edo pikir Sarka sedang main-main dan hanya becanda, tapi dalam keadaan genting dan penuh resiko seperti ini, kecil kemungkinan jika Sarka berbohong tentang sesuatu yang tidak perlu.

Anggukan kepala Sarka muncul dengan lemah, sorot matanya sayu, dan Sarka tidak tahu harus melakukan apa kali ini. Karena sejujurnya, ia masih terlampau terkejut, tidak percaya, dah tidak terima bahwa nama Alan tertulis di buku sialan itu.

"Kenapa harus bang Alan Do?" Sarka bergumam, suaranya terdengar serak. "Gue nggak mau bang Alan nggak ada Do, gue takut. Gue nggak siap ditinggal bang Alan." Menunduk, Sarka berusaha memasukkan udara ke dalam paru-parunya meskipun terasa sangat susah, sempit, dan begitu sakit.

Sarka menelan ludahnya, "gue nggak nyangka kalo bang Alan bakal berakhir kayak gini Do. Ini semua memang salah gue! Semua yang meninggal, dari awal memang kesalahan gue Do!" Nada suara yang keluar dari bibir Sarka terdengar penuh rasa bersalah, kesal dan tidak terima.

"Hei Sar, dengerin gue."

"Pemicu masalah ini memang gue."

"Sar ..."

"Kalo bukan karena gue, mau nyalahin siapa lagi?"

"Sar ..."

"Nggak ada yang bisa disalahin selain gue, karena buku itu punya gue, karena yang mimpi juga gue. Sem—

"SARKA! DENGERIN GUE DULU BISA?!" teriak Edo kuat-kuat sembari mencengkeram kencang kedua bahu Sarka. Edo mendesah pelan setelah itu. Iris hitam milik Edo bertatapan dengan netra coklat gelap punya Sarka. Edo memejamkan matanya sejenak, sebelum akhirnya ia berkata. "Dengerin gue Sar," ujarnya dengan vokal lirih, sedangkan Sarka menatap Edo dengan bibir merapat. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam dadanya.

Edo melanjutkan. "Nyalahin diri sendiri nggak akan bisa nyelesaiin masalah apapun. Nggak ada gunanya Sar, dan di sini lo nggak salah apa-apa. Lo juga korban, sekarang paham?"

"Gue harus gimana Do?" balas Sarka. "Gue nggak mau bang Alan meninggal."

"Nggak akan Sar!" janji Edo.

"Semua nama yang tertulis di buku sialan itu, pada akhirnya bakal ninggalin dunia ini Do. Dan kali ini, ada nama bang Alan. Lo seharusnya juga ngerti Do."

"Jangan berpikir negatif dulu Sar, siapa tau bukan Alan abang lo yang dimaksud, kan?"

"Terus kalo bukan bang Alan abang gue, Alan siapa yang dimaksud? Gue nggak kenal siapapun yang namanya Alan selain abang gue sendiri Do." tutur Sarka sedikit frustrasi. Bahkan ketika mengatakan sederet kata tersebut, urat-urat disekitar lehernya terlihat begitu jelas. Sarka menggeram pelan, menahan emosi yang perlahan-lahan mulai menerobos keluar, menjalar ke seluruh tubuhnya begitu saja. Tangan Sarka sudah terkepal kuat-kuat.

Sarka mengatur pernapasannya yang sedikit tidak terkontrol sebelum meneruskan kalimatnya lagi. "Dan lo juga tau, setiap korban selalu orang yang gue kenal. Seratus persen kemungkin kejadian sekarang adalah bang Alan memang target selanjutnya dari buku itu. Tapi kenapa harus bang Alan Do?"

"Sar, kalo memang begitu, seharusnya kita punya waktu." Edo berkata, tapi sepertinya Sarka belum mengerti maksud ucapannya. Edo memperbaiki posisi duduknya lebih nyaman lagi, berdehem pelan, lalu ia menatap bola mata Sarka lagi. Kalimat yang belum ia selesaikan kembali Edo teruskan. "Gini Sar maksud gue, seperti apa yang lo bilang sebelumnya, kita mencoba mencegah kematian itu. Kita coba kali ini sama bang Alan. Semuanya belum terlambat Sar, kita masih ada waktu."

Shadow Scent (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang