Sarka dan Edo sekarang duduk di sofa ruang tamu, bersama dengan Nadine yang baru saja sampai. Sudah pukul jam sepuluh saat ini, hari sudah beranjak siang, matahari semakin meninggi. Sarka awalnya tidak tahu bahwa Nadine akan datang, tiba-tiba saja Nadine muncul di ambang pintu rumahnya.
"Oh ya, gue lupa Sar kalo sebelum datang ke sini Nadine ngomong sama gue dulu, tapi gue kelupaan nggak ngasih tau lo." Edo terkekeh pelan, ia pun kemudian mencari pembelaan. "Lo juga sih, ngajak berantem mulu tadi di kamar bang Alan."
"Siapa yang ngajak berantem, lo yang mulai duluan, kan?" Sarka tentu saja tidak mau disalahkan.
"Kalian berdua berantem?" tanya Nadine kemudian, membuat dua kepala langsung menatap ke arahnya.
Sarka menjawab sebelum Edo sempat berkata sesuatu, "bukan berantem seperti yang ada pikiran lo kok Dine, cuma berantem biasa aja, nggak saling adu jotos gitu."
Edo mendukung, ia yang duduk tepat di samping Sarka segera merangkul erat sohibnya itu. "Betul sekali! Gue nggak mungkin berantem gede sama Sarka, kita kan best friend forever setengah mampus!"
Sarka menyentak kasar lengan Edo yang main rangkul saja. "Jijik anjir lo ngomong gitu, sana geseran dikit duduknya, sempit nih gue."
Sembari menggeser duduknya seperti kemauan Sarka, Edo ngedumel, "kan kan mulai lagi. Sebenarnya lo sendiri Sar yang mulai cari gara-gara, gue kan ikut permainan lo aja."
"Banyak cincong lo Do ah!"
Edo mencari pembelaan lain, ditatapnya Nadine, kemudian berkata cepat. "Nah kan Dine, Sarka duluan kan yang mulai?"
Nadine memutar bola matanya. "Nggak ada yang bener, kalian berdua sama-sama salah. Udahlah berhenti, kalian bukan anak kecil lagi. Udah sekarang jangan berantem lagi." Nadine melerai, diisinya lagi paru-parunya dengan udara segar dan baru. Tatapannya ia jatuhkan ke arah wajah Sarka, tepatnya dimanik mata cowok itu. "Jadi gimana Sar abang lo?"
"Abang gue?" Sarka refleks saja memutar kepalanya ke arah pintu kamar bang Alan. Pintu yang tertutup, entah sedang apa abangnya itu di dalam sana setelah Edo dan dirinya keluar.
Edo menepuk bahu Sarka sekali, membuat pandangan Sarka kembali terarah ke Edo. "Sar, sebelum ke sini gue telponan sama Nadine, gue udah cerita soal semuanya."
Sarka kini paham, ia mengangguk pelan. "Sejauh ini masih baik-baik aja, gue juga udah minta tolong Gwen buat ikut jagain bang Alan."
"Dia mau?" tukas Nadine. Sebelumnya Sarka memang sudah berkata kepada Nadine jika di rumahnya ada hantu perempuan.
Kembali Sarka menggerakkan kepalanya naik turun. "Mau kok, tapi gue nggak bilang alasannya kenapa, dia nanya sih karena aneh menurutnya, tumben gue ngomong kayak gitu. Tapi gue memilih buat bungkam aja. Selain ribet buat jelasin dan pastinya makan banyak waktu, gue juga males buat jawab semua pertanyaan dia."
"Bener Ka, sebaiknya masalah ini jangan banyak orang yang tahu," papar Nadine. Kemudian ia melanjutkan. "Berarti soal keterkaitan dengan angka empat, itu fix bener, ya?"
"Sejauh ini memang kita cuma ngandelin itu doang." Sarka menimpali. "Bang Alan ... Dia suka angka empat."
Edo berkata setelah itu. "Jadi hari ini kita mantau bang Alan, kan?" tanyanya, dengan suara seminim mungkin agar Alan tidak mendengar semua percakapan tiga remaja itu.
"Gue tentu saja, urusan mau bantu atau enggak itu biar jadi keputusan kalian berdua. Gue nggak bisa maksa."
"Tenang aja kok Ka, gue pasti bakal bantuin lo," sahut Nadine. "Kita bakal bareng-bareng ngelewatin ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...