"Ini hantu yang namanya Rose Rose ini kayaknya baik deh dari apa yang kalian ceritakan barusan." Edo menyeletuk setelah menelan bakwan yang dipesan di kantin. Ia menatap Nadine dan Sarka yang juga sedang memakan makanan serupa.
Saat ini ketiganya memang sedang berada di kantin. Bukan, sekarang bukan waktunya sedang istirahat. Tapi, sejak dua puluh lima menit yang lalu sekolah sudah dibubarkan. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Waktunya semua murid untuk pulang. Sarka, Edo dan Nadine memilih untuk menepi dulu di kantin. Lagipula, saat ini hujan masih turun dengan deras, ketiganya tidak membawa mantel sebagai pelindung dari air hujan.
"Rose emang baik Do," jawab Sarka. "Dia bahkan mewanti-wanti gue buat selalu hati-hati dalam bertindak. Seperti tadi juga, iya nggak Dine?"
"Betul tuh," sahut Nadine, mendukung Sarka. Cewek yang memakai bandana berwarna biru itu mengangguk mantap. "Lo juga jangan beranggapan bahwa semua hantu itu jahat. Banyak yang baik kok. Rose salah satunya."
"Terus hantu di rumah lo itu siapa Kra namanya? Gue lupa, hantu perempuan yang tinggal di kamar bang Alan." Edo bertanya kepada Sarka, ia sudah berpikir tapi tidak ingat sama sekali.
Sarka menjawab setelah menyeruput coklat hangatnya. "Gwen."
"Iya itu, baik juga nggak dia?" lanjut Edo.
"Awalnya sih gue takut, gue pikir dia jahat gitu. Tapi sebenernya Gwen baik loh Do, tapi ya emang gitu, agak ngeselin dia. Nempel mulu kerjaan dia sama abang gue." Sarka menjelaskan sembari membayangkan wajah Gwen. Dia mendesah pelan, tidak habis pikir dengan hantu satu ini.
"Abang lo itu tau nggak Ka kalau di kamarnya itu ada kuntilanak yang demen banget sama dia?" Nadine ikutan bertanya karena penasaran.
Sarka menggeleng pelan, yang berarti jawabannya adalah tidak. "Bang Alan nggak tau kalau dia disukai sama hantu," katanya sambil mencomot satu bakwan di piring.
"Wah ... Parah lo Sar, abang sendiri loh ini. Kasih tau buruan," ujar Edo seraya menepuk pundak Sarka cukup kuat. "Adek nggak bener lo."
Sarka berdecak pelan, ia melempar tatapan sengit untuk Edo. "Nggak gitu juga. Ini kan demi kebaikan gue sama bang Alan juga." Sarka memutar bola matanya dengan malas. "Ibu sama bang Alan belum tau kalau gue bisa lihat hantu, mereka pikir gue masih sama aja kayak dulu. Kalo gue ngasih tau kalo dikamar bang Alan ada penghuninya, bisa-bisa gue ketahuan dong kalo mata gue ini beda dari yang dulu? Itu kalau mereka percaya sama omongan gue. Terus ada hal lain lagi, bisa jadi bang Alan takut dan nggak mau tidur di kamarnya lagi. Terus dia malah ngungsi di kamar gue. Lah ... Gue nggak mau tidur bareng. Kasur gue juga nggak segede itu." Sarka berkata panjang lebar dengan emosi yang membara, tatapan kesalnya ia tunjukkan secara terang-terangan untuk Edo. Belum berhenti sampai di situ saja, Sarka pun melanjutkan. "Lagian nih ya, Gwen pasti bakal marah sama gue kalo hal itu sampai terjadi. Gue juga kan yang kena? Terus gue takut kalau dia marah bisa ngelakuin apa aja, soalnya pas pertama kali ketemu dia, mukanya nyeremin banget."
"Buset, dikasih alasan yang detail banget nggak tuh Dine?" Edo berbicara kepada Nadine seraya terkekeh pelan.
Sedangkan Sarka langsung mencibir kesal. "Lagian lo kalau ngomong dipikir dulu napa."
"Gue cuma becanda Sar barusan, jangan marah sama gue dong."
"Siapa juga yang marah sama lo? Gue cuma kesel aja," ralat Sarka.
"Ya udah deh maafin gue kalau gitu," pinta Edo sungguh-sungguh.
"Hmmm, gue maafin," balas Sarka tulus. Ia sadar jika perkara barusan tidak perlu dibesar-besarkan.
"Eh Ka, gue jadi kepikiran sesuatu nih." Nadine memulai, ia berdehem sejenak sembari mengaduk minumannya menggunakan sedotan. Ditatapnya Sarka dan Edo secara bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...