Nadine meregangkan otot-otot tubuhnya. Kini ia sudah merasa enakan. Hari ini ia berniat berangkat sekolah setelah kemarian ia libur satu hari dikarenakan sakit. Kemarin Nadine merasa tidak enak badan, yang membuatnya harus tetap di atas kasur sepanjang hari. Nadine tidak tahu kenapa sakitnya datang tiba-tiba seperti ini, tapi ia menduga bahwa dirinya kelelahan. Namun, sekarang Nadine sudah sehat. Ia bisa berdiri dan berjalan dengan mudah, tidak seperti kemarin yang baru saja duduk sepuluh detik, kepalanya terasa berat bukan main. Membuat Nadine cepat-cepat merebahkan tubuhnya lagi diatas kasurnya yang empuk dan nyaman.
Sekarang Nadine sudah siap untuk berangkat ke sekolah, ia mengambil hapenya di atas nakas. "Kenapa pake rusak segala sih!" Nadine bergumam kesal, memandangi hapenya yang sekarat, layarnya juga pecah. Hal itu disebabkan karena kemarin malam hapenya terbanting.
Tidak ada pilihan lain, Nadine pun memasukkan benda pipih itu ke dalam laci. "Nanti deh gue coba bawa ke konter," ucapnya lagi, dengan pelan. Kemudian ia pun melangkah keluar dari kamar.
Sebenarnya, rusaknya hapenya tersebut bukan perkara yang sangat disayangkan oleh Nadine. Hape itu memang sudah tua, bekas ibunya dulu sebelum meninggal. Tapi, dikarenakan masih bisa digunakan, Nadine pun memutuskan untuk memakainya. Padahal ayahnya sudah menawarkan Nadine untuk beli hape baru, tapi Nadine menolaknya. Ia berkata bahwa hape bekas mendiang ibunya masih bisa digunakan dengan baik. Alasan lain sebagai pendukung yang ia ucapkan kepada ayahnya adalah Nadine ingin mengenang ibunya dengan hape tersebut. Ia berkata akan selalu ingat ibunya jika memandangi hape tersebut.
Oleh karena itulah Nadine terus memakai benda tua itu, tapi sekarang, hapenya sudah rusak.
Nadine melenguh, napasnya terhela panjang. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun berangkat sekolah setelah berucap dengan nada suara kencang untuk meminta ijin kepada ayahnya bahwa dirinya akan berangkat, tapi yang Nadine dapatkan justru kesunyian. Tidak ada sahutan apapun dari ayahnya.
Dan hal itu sudah lumrah terjadi. Sesuatu yang tidak asing lagi bagi Nadine.
***
"Gue yakin Sar kalau Nadine berangkat hari ini." Edo menenangkan Sarka yang sejak kemarin terlihat sangat kalut.
"Kalau enggak?"
"Ya tunggu aja sampai dia berangkat. Hapenya masih nggak aktif kan sampai sekarang?"
"Gue nggak bisa sesabar itu Do." Sarka mendengkus panjang. "Ini menyangkut tentang nyawa seseorang loh. Gue nggak bisa biarin gitu aja."
"Ya kita tunggu aja kalau gitu, mau lo loncat-loncat, jungkir balik, kayang, ataupun roll depan sekalipun, kalau dasarnya Nadine nggak datang ya lo mau apa? Tunggu aja deh, jangan emosi terus."
Sarka melirik Edo, perkataan sohibnya itu memang benar, yang bisa Sarka lakukan sekarang hanyalah menunggu kedatangan Nadine. Berharap bahwa cewek itu datang, agar Sarka bisa langsung bertanya dan menjelaskan situasi yang sedang terjadi sekarang ini.
Berusaha tenang dan duduk di bangkunya sembari terus mengawasi pintu kelasnya, Sarka berharap Nadine akan datang hari ini. Jika terlalu lama membahas dan mencari titik terang tentang masalah ini, Sarka takut sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
"Gue yakin pasti Nadine datang kok Sar," ujar Edo, sambil menepuk pundak Sarka satu kali. "Kemarin dia kan udah absen, tanpa keterangan pula tuh. Nadine pasti nggak mau absen lagi. Gue yakin Sar, lo tenang aja!"
"Gue juga bisa aja yakin kalau Nadine berangkat hari ini, tapi memang ada sesuatu yang menjamin hal itu? Lo cuma yakin Do, belum tahu seratus persen kalau Nadine hari ini fiks buat datang."
"Ya gue emang nggak bisa jamin apapun. Tapi seenggaknya lo berpikir positif lah Sar, jangan gini." Edo membela dirinya. Ia tidak merasa bersalah pada posisi sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...