"Alhamdulillah, akhirnya lo bisa lihat lagi Sar, gue turut bahagia."
Sarka tersenyum tipis kepada Edo, sahabat karibnya dari kecil. Sarka menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Makasih Do, gue juga seneng bisa melihat lagi."
Edo menepuk-nepuk pelan pundak Sarka. "Maafin gue ya karena gue kemarin nggak bisa ke sini nemuin lo, gue sama nyokap lagi di rumah nenek. Dan baru balik tadi malem," ucapnya menyesal.
Sarka tidak masalah dengan itu. Ia biasa saja, tidak merasa keberatan jika kemarin Edo tidak menyambut kepulangan dirinya. Lagipula Edo juga pasti punya kesibukan sendiri, Sarka tidak bisa memaksa kehendak sahabatnya itu. Dan Sarka juga tidak bisa menyuruh Edo untuk setia berada di sampingnya terus. Itu nggak akan terjadi, Sarka juga punya urusan sendiri tentunya.
"Lo ngapain minta maaf deh, lo nggak salah Do. Jangan dipikirin lagi, gue nggak masalah," ucap Sarka, menenangkan Edo. Untung saja Edo langsung mengangguk. Selama enam bulan terakhir ini, sewaktu Sarka ditemani oleh kegelapan, Edo juga sering menemani dan memberikan semangat untuknya. Edo adalah sahabat setia, ia tidak akan pergi meninggalkan Sarka dalam keadaan susah. "Malahan, seharusnya gue yang harus minta maaf sama lo. Gue terlalu ngrepotin lo."
"Halah, elo mah ngomong gitu mulu dari kapan tahu. Emangnya sama siapa aja sih? Gue sahabat lo dari kecil, kita bakal sama-sama terus Sar."
"Dan sejak kecil gue minta lo ngubah panggilan gue. Stop manggil gue dengan sebutan itu lagi! Gue nggak suka. Gue cowok!"
Edo terkekeh pelan, "lah ... Kenapa emangnya? Nama lo kan emang Sarka, salah kalo gue manggil dengan sebutan Sar?" Edo menatap Sarka geli, sahabatnya itu mendengkus panjang sekaligus menatap Edo tidak suka.
"Masalahnya, orang-orang ngiranya nama gue Sarah, Sari atau Sarwendah! Gue muak tau nggak? Gue bukan cewek anjir! Udah berapa kali gue bilang kalau lo ubah panggilan buat gue." Sarka berbicara cepat dengan nada suaranya yang keras.
Edo selalu suka jika Sarka sudah marah-marah kepadanya soal panggilan nama itu. Cowok berbadan gempal dengan rambut ikal itu menatap Sarka seraya menggeleng kuat. "Nggak mau, itu panggilan gue khusus buat lo. Lagian dari dulu gue manggilnya udah gitu, lidah gue sudah paten. Bakal keseleo lidah gue kalau manggil lo dengan sebutan lain."
Lelah berdebat karena tidak mungkin menang, Sarka akhirnya menyerah juga. Cowok itu menatap Edo sambil geleng-geleng kepala. "Serah Do, serah lo deh, gue nyerah!"
"Nah gitu dong dari tadi, buruan deh pakai sepatu lo. Kita harus berangkat sekolah, udah terlat nih. Gue nggak mau datang terlambat dan dihukum sama lo lagi kayak dulu." Edo menyerocos panjang lebar.
Sarka langsung membalasnya sembari mulai memakai sepatu miliknya. "Sengaja berangkat terlambat aja gimana Do?" tanya Sarka, menggoda Edo. Ia sedikit terkekeh.
Mendengar respons Sarka seperti itu, Edo membelalakkan matanya. Dengan cepat ia menggeplak belakang kepala Sarka. "Kalau ngomong suka nggak difilter dulu nih bocah. Nggak lucu, gue nggak mau dihukum lagi!"
"Emangnya kenapa? Biar ala-ala deja vu gitu. Dihukum cuma ngepel lantai doang kok ngeluh. Aman-aman aja tuh harusnya."
"Itu kan dulu!" Edo mengajukan protes lagi. "Beda lagi hukuman sekarang. Nyapu, ngepel, bersihin toilet, bersih-bersih perpustakaan, sampai disuruh hormat ditengah lapangan. Bisa semua itu sekaligus. Emangnya lo mau, ha?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...