"Udahlah Sar, Nadine kan nggak sepenuhnya salah. Dia juga nggak tahu kalau lo nyoba hubungi dia karena hapenya rusak. Kalau nggak rusak, udah pasti Nadine juga bakal ngangkat panggilan dari lo." Edo berbicara panjang lebar, "coba sekarang bayangin, posisi lo dibalik sama Nadine. Bakal sama aja Sar. Lo nggak bisa egois gini, gue tahu kalau lo kecewa, tapi ya nggak gini juga Sar. Nadine bukan sengaja ngelakuin itu semua."
Jam istirahat kali ini, Edo memosisikan diri sebagai penengah untuk meredakan ketegangan antara Sarka dan Nadine. Edo paham kalau Sarka sedang menahan amarahnya, tapi menurut Edo, Sarka juga tidak bisa menyalahkan Nadine begitu saja.
Edo mendesah panjang, ditepuknya pundak Sarka sekali lagi. "Jangan egois Sar, kita selesaikan masalah ini baik-baik dan pikirin jalan keluarnya bareng-bareng."
Sarka mengusap wajahnya dengan frustrasi, napasnya terhembus dengan panjang dan kasar. Kemudian ia menoleh, menghadap ke arah Nadine yang tengah menundukkan wajahnya, cewek itu merasa sangat bersalah.
Sadar bahwa dirinya memang mementingkan diri sendiri dan berlaku seenaknya, Sarka pun akhirnya memutuskan untuk meminta maaf kepada Nadine. Lengkap dengan suara seraknya, Sarka berkata, "Dine, maafin gue yang egois, ya?" ujarnya tulus sembari menjulurkan tangannya ke arah Nadine, menunggu sahabatnya itu menjabat tangannya. Edo yang melihat hal itu lantas menahan senyumannya. Edo merasa bangga lantaran dirinya sukses menghentikan sikap dingin Sarka kepada Nadine.
"Gue sadar kalau di sini gue emang salah, gue terlalu egois sampai gak mikirin perasaan lo sama kejadian sebenarnya. Sekali lagi, gue minta maaf sama lo Dine," lanjut Sarka dengan kata-kata lebih panjang agar lebih meyakinkan. Nadine belum juga kunjung merespons, membuat Sarka kembali berusaha berbicara lagi. "Dine? Gue minta maaf sama lo, boleh?"
Perlahan, Nadine mengangkat wajahnya, detik berikutnya tatapan dirinya dan Sarka saling bertubrukan. Nadine pun akhirnya menerima jabatan tangan Sarka. Nadine tersenyum tipis, "maafin gue juga Ka, di sini gue juga salah. Dan gue udah ngecewain lo tentunya."
Sarka ikut mengusung senyuman. "Gue bakal maafin lo kalau lo mau terima maaf gue terlebih dahulu Dine."
"Iya, gue maafin lo."
"Maaf dari lo, juga gue terima," sahut Sarka.
Edo bertepuk tangan pelan, "nah, gini kan enak jadinya. Jangan marah-marahan, justru malah semakin susah dan lebih lambat mecahin masalah kalau saling perang dingin."
"Gue terlalu takut Dine, gue nggak mau ada korban jiwa lagi akibat buku itu. Gue niatnya mau mencegah siapapun yang nyawanya terancam gara-gara gue." Sarka menunduk lesu, napasnya terhela panjang.
"Bukan gara-gara lo Sar, lo kan nggak tau apa-apa. Lo nggak bisa mencegah dan mengendalikan mimpi buruk itu. Karena memang sudah takdirnya seperti itu. Mau berbuat apapun semuanya tetap bakal terjadi."
"Tetep aja, gue adalah penyebab orang-orang meninggal." Sarka mendesah berat sekali lagi.
"Kalau aja gue bisa dihubungi pagi itu, mungkin kita emang bisa mencegah kematian seseorang. Gue yang salah sebenarnya." Nadine menelan ludahnya dengan kasar, kembali menyalahkan dirinya sendiri.
"Jangan gitu Dine, lo nggak salah dan nggak tau apa-apa." Edo memperingati.
"Nggak Do," sangkal Nadine sembari menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Coba aja hape gue nggak rusak dan gue bisa ngangkat panggilan dari Sarka waktu itu."
"Udah, jangan bahas masalah itu lagi. Yang udah berlalu biarin aja, gue minta kalian fokus sama masalah saat ini? Gue minta tolong."
"Nanti pulang sekolah kalian mampir ke rumah gue aja gimana? Kita lihat bareng-bareng buku aneh itu. Kita lihat nama siapa yang tertulis di sana. Syukur-syukur kalau nggak ada korban lagi kali ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Scent (END)
Teen FictionSarka tidak tahu ada apa dengan dirinya. Semenjak mendapatkan donor mata dari orang lain, ia merasa keanehan mulai datang satu persatu kepadanya. Seperti bisa melihat makhluk tak kasat mata, diserang mimpi buruk sepanjang malam hingga membuatnya ter...