Apa katanya?
Selagi ingin bertanya tentang ‘buka rokmu’ dengan keberanian yang tercekat di tenggorokan, kuperhatikan bahwa dia rupanya bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat langsung menembusku.
Jadi sebaiknya aku tidak bertanya. Karena aku tahu, tinggal selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri.
Harus kuakui kalau ini menegangkan. Tanganku nyaris gemetar saat melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan. Dan sial! Tentu saja ini sulit.
Aku tertolong karena pakaianku. Beruntungnya kemeja putih polos ini menutupi celana dalamku. Panjangnya tepat satu senti di bawah bokong. Benar-benar menjalankan peran dengan baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua mata Rhys.
“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.
“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.
Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua jenis luaran berbeda dari pakaian setengah resmi untuk menutupi bokong dan bagian depanku.
Aku tahu, Rhys berniat memulai hukumannya dari yang paling kecil dan manis.
Sekarang mungkin dia cuma terlihat peduli, padahal bukan. Dia mencoba memperdayaku yang belum pernah berurusan dengannya selama ini.
Dia sadis, licik, dan tentu saja, kurang ajar!
Tapi hanya dia satu-satunya anggota keluarga Oxley yang tidak akan pernah berani kulawan, apalagi memiliki kepercayaan diri untuk bisa menang darinya. Dari seorang Rhys Dimitri Oxley yang hebat.
Luar biasanya, sejauh dan selama ini aku tetap saja mengacau. Sudah menjadi hal biasa yang kulakukan pada setiap perintah keluargaku. Itu sikap yang berani, menurutku. Hei, lebih tepatnya, pemberontak.
“Ayo, cepat.” Rhys sudah berjalan lebih dulu, tepat ketika aku selesai mengikat kedua lengan jas-nya di pinggangku.
Rhys menoleh. Berhenti yang tidak lama hanya untuk menatap tubuh kaku berlumur darah Tom Jhon Parera dengan seulas senyum yang sulit kuartikan. Seperti seringai, tapi lebih tepat jika disebut senyum menghina. Namun sekilas tampak cuma segaris tipis yang tak bermakna apa pun.
Di luar, sepi. Aku tahu, jelas tahu bahwa seluruh penghuni yang tersisa di kediaman ini berpihak pada Rhys. Mereka menginginkan ‘bagian’ jika kami berhasil membuat Tom menandatangani surat pernyataan jual beli tanah milik keluarga Parera.
Kami? Aku. Aku tidak berhasil membuat Tom menandatangani surat itu. Sial!
Tom yang salah. Salahkan saja dia. Seharusnya, Tom bisa dibunuh oleh Rhys kapanpun pria itu mau. Karena telah berjiwa angkuh dan tidak ingin menundukkan kepalanya di depan putra sulung Oxley.
Rhys punya alasan untuk membunuh Tom. Iya, kan? Kenapa memberi tugas ini padaku? Karena dia tahu bahwa aku akan gagal. Dengan begitu, dia bisa menyiksaku tanpa batas waktu, sampai dia merasa puas dan menang.
“Kau gagal ZeeZee ...” Dia menoleh sekilas padaku, “tunggu sampai aku pulang dari FamilyWood untuk memberikan hukuman yang tepat dan sesuai denganmu.” Jari telunjuknya mengacung ke arahku, dua kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...