Yeva sedang menampar wajahnya sendiri berulang kali, ketika aku tiba di kamar anak-anak. Mulutnya komat-kamit menyalahkan diri.
“Hentikan, Yev.” Berdiri di depannya, pelan-pelan kukatakan itu padanya yang rupanya tidak mau mendengarkanku.
Kuhela napas lelah. Terserahlah apa maunya. Kudorong pundaknya agar menyingkir dari depan pintu kamar anak-anak. Terdiam dia sejenak menatapku.
“Minggir, Yeva Harland.” Kulihat wajahnya begitu memerah. Kedua matanya mulai berkabut siap menumpahkan air mata. Dia menyingkir, akhirnya. Saat kubuka pintu, dia kembali melanjutkan aksinya.
Suara tamparannya pelan, namun telapak tangan Yeva terasa menyakitkan, perih bertemu kulit. Dia kerap menampar atau mencubit lenganku ketika sedang kesal dan gemas akan sesuatu.
Red sudah bangun rupanya. Dia duduk di ranjang masih setengah sadar. Ke sana kemari pandangannya, lalu kuangkat dia agar merasakan kehangatan pelukanku.
“Lihat, Red. Adikmu sepertinya masih bermimpi. Ya, kan?” Kubelai pipi Jean sambil setengah membungkuk, mengikutsertakan Red menyentuh adiknya di box bayi. Lelap dan nyenyak Jean dalam tidurnya.
Red bicara bahasa yang bisa kumengerti. Dia tidak mau digendong lagi. Meminta turun dan ingin memanjat sendiri ke box adiknya.
Ketukan di pintu menghentikanku melarang Red. Bocah itu kehilangan minat pada box Jean, malah lari untuk membuka pintu.
“Blad!” jeritnya, padahal pintu belum terbuka.
Terbuka dari luar. Brady langsung berlutut untuk memeluk Red yang tidak pernah sudi memanggil siapa pun adik atau teman Rhys dengan sebutan uncle atau paman.
Senjata laras panjang Brady menggantung di punggungnya. Dia bercanda dengan Red sampai putraku itu terbahak-bahak.
“Di mana dia?”
Brady mengelus kepala Red. Melangkah masuk ke kamar. “Tidak bisa kulakukan apa pun karena Rhys memintaku menempatkannya di ruang bawah tanah.”
Memang tidak kuharap Tessa mati di tangan Brady. Perkataanku tadi cuma gertakan. “Baguslah. Asal kau tahu saja kalau dia itu bukan wanita tua biasa.”
“Memang. Dia kuat, nyaris pinggangku patah karena perlawanannya tadi habis-habisan sekali.”
Aku teringat sesuatu. “Saat kau ke sini, apa kau berpapasan dengan Yeva?”
“Tidak,” geleng Brady. “Dia sepertinya sangat membenciku. Wanita naif seperti dia kenapa bisa dijadikan istri oleh Hugo?”
Aku mendelik padanya. “Turunkan Red dan kau pergilah susul dia untuk minta maaf.”
Mematuhi perintahku memang, tapi sempat kudengar keluhan Brady sebelum dia benar-benar pergi dari kamar anak-anak.
Menjelang tengah malam aku dikejutkan oleh ribut-ribut, ketika niatku ingin membuat segelas cokelat panas di bawah. Antara iya dan tidak mengingat harus turun meninggalkan anak-anak. Namun akhirnya aku melangkah juga mengingat sebaiknya tidak terlalu paranoid.
Demi apa, Brady dan Yeva masih saja berdebat. Tidak ada habis-habisnya.
“Hebat. Apa kalian tidak lelah?” Kusindir keduanya sambil lewat di antara mereka di tengah-tengah.
Entah apa yang mereka bahas sampai-sampai kemudian kudengar ada sesuatu yang pecah dan sunyi setelahnya. Sebentar—bunyi seperti anak panah yang melesat dan ... aku merunduk. Melepas pistol dari sarung di pahaku dan bergerak cepat menuju ruang di mana Yeva dan Brady tadi berdebat.
Mereka sedang berbaring di lantai sekarang, bertabur pecahan kaca. Brady membekap mulut Yeva, sementara sahabatku itu melotot dan berdarah.
Brady memberi isyarat padaku untuk kembali ke atas. Anak-anakku!
Berjalan sambil berjongkok kulakukan. Aku tidak ingat metode lain yang lebih elegan dan berguna di situasi seperti ini. Saat selangkah lagi menuju Brady yang memeluk Yeva—melindungi dari pecahan kaca—dan tidak lagi membekap mulutnya, satu tembakan terlepas. Tak bersuara kecuali pelurunya yang menabrak pigura besar di dinding. Foto pernikahan Yeva dan Hugo.
“Aku akan melindungimu. Pergilah ke kamar anak-anak.” Brady bersuara pelan yang bisa kudengar karena jarak kami cuma sebatas satu langkah.
“ ... ZeeZee,” panggil Yeva lirih, kesakitan.
“Kenapa, Yev?”
“Di bawah tempat tidur Red ... paling sulit dijangkau, namun agak mudah untuk tangan kecilmu, ada ... tombol pengaman. Tekan dua kali dan ... dan anak-anakmu akan aman dari serangan apa pun. Jangankan masuk, mendekat pun mereka tidak bisa.”
Kuusap keningnya yang masih menyisakan bercak darah, meski sudah dihapus Brady tadi. “Okay. Aku janji, aku akan segera kembali.”
“Sekarang, ZeeZee!”
Perintah Brady kuiyakan dengan berlari cepat menaiki dua anak tangga sekaligus tiap satu pijakan. Aku tidak butuh rasa takut yang bisa menghentikan langkahku, meski aku sadar baru saja peluru terpental di pegangan tangga yang terbuat dari besi.
Puncak tangga, sedikit lagi! Ketika sampai akhirnya, aku tidak tahu bahwa satu tangan besar membekapku dari belakang.
“Ssst, ini aku, Sayang.”
Pukulan dan sikap melawanku terhenti. Bisa-bisanya aku tidak mengenali tangan suamiku sendiri?
Rhys tampak urakan. Terluka di sana-sini. Wajahnya lebih bengis dari biasanya. Bergairah spontan tubuhku melihatnya saat ini. Di situasi tidak tepat, di waktu yang salah.
“Turunlah, Rhys. Bantu Brady. Aku harus ke kamar anak-anak.” Sekarang bukan saatnya bertanya kapan dia kembali dan kenapa tanpa terduga begini, seorang diri pula.
Rhys berbalik, namun kutahan pundaknya dari belakang. Sungguh aku tidak tahan melihatnya begini.
“Cium aku.”
Hai, hai kebiasaanku kalau muncul adalah memberi informasi atau promosi. 🤣🤣 Maafkan, ya?
Ini nih aku mau kasih tau. Ada cerita baru lagi. Sebenarnya ini novel lama. Jadi mungkin ada banyak kesalahan yang belum kuedit dan malas kuedit. 🤣 Saat membaca nanti, harap maklum yee.
Semoga kalian suka. Yuuk ramaikan. Chapter-nya udah banyak. Ini diaa.Singgah, ya? Jangan lupa vote, kalau malas koment yowes, masukin ke rak aja, okay? Terima kasih dan salam hangat. 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...