Aku dan Rhys masih di rumah Lui. Kami tinggal di sana tanpa kepastian. Maksudku, Rhys tidak membahas apa pun lagi tentang David dan Tessa atau bagaimana nasib kami setelah ini.
Bersamanya, hidup dengan Rhys, layaknya memang jadi impianku. Tanpa beban, meski terkadang aku masih sering dihantui akan rasa takut yang entah seperti apa wujudnya.
Lupakan perasaan yang mengganggu itu, sebab aku punya yang lebih menyenangkan dari rasa takut. Ini tentang mereka. Di rumah besar Lui yang di luar dugaanku ini masih diisi oleh seluruh pria tampan Oxley. Lengkap, tanpa ada satu pun yang tertinggal. Mereka selalu ada setiap pagi ketika sarapan bersamaku dan makan malam santai di tempat berbeda di rumah ini setiap malamnya. Mereka suka mengganti suasana.
Dapur, ruang makan, ruang tengah, balkon bahkan taman depan dan belakang. Rasanya sesak dipenuhi oleh mereka berenam, namun selalu ada sisa kehangatan yang kudapatkan setiap kali momen itu selesai kulewati bersama mereka.
Malam ini, Lui menyarankan bersantap di lapangan golf pribadi miliknya yang baru kutahu berada di paling belakang rumah. Ada dinding tinggi menjulang pemisah antara bangunan rumah Lui dan lapangan tertutup itu.
Mulutku terbuka sanking tidak percaya dengan apa yang kulihat. Meja makan bundar besar yang dikelilingi oleh satu ... dua ... tujuh kursi kosong. Menu makanan berdatangan diantarkan oleh beberapa pelayan berseragam putih, sementara para kesatria tampan pun mulai bermunculan satu persatu. Yang sudah bersamaku saat ini adalah Lui dan Hugo.
Rhys hampir selalu muncul paling akhir dengan alasan dia punya pekerjaan yang mesti diselesaikan sampai jam yang sangat berdekatan dengan waktu makan malam.
Aku tidak mengapa. Selama dia kembali pulang padaku. Walau sesekali, pernah seperti malam lalu, buku-buku jarinya terluka dan dipenuhi oleh bercak darah saat dia muncul paling akhir, lalu duduk bergabung dengan kami di meja makan. Tidak bertanya, aku hanya memeluk dan menciuminya saja sepanjang malam berlalu.
“Kau suka?”
Aku bertahan manakala Lui berbisik di belakangku, dekat telingaku. “Yap. Terima kasih.”
“Boleh kuusap perutmu?” Masih berbisik, napasnya menerpa kulit di sekitar telingaku.
Kuawasi pria-pria Oxley yang bermunculan di kejauhan melalui pintu gerbang lapangan. Mereka jauh, mungkin hampir dua puluh meter. Sibuk sendiri. Dengan penampilan dan selebihnya ponsel. Itu ... Leon, Adorjan dan Ludwig. Rhys masih belum terlihat. Pantas saja Lui seberani ini—
“Hei—”
“Oh! Bayimu terasa bergerak-gerak!” Lui tiba-tiba sudah mengusap perutku dengan ujung dagunya yang menekan pundakku. Kedua tangannya sudah menyelinap lewat balik pinggangku. Aroma keseluruhan tubuhnya segar. Terendus dari sini.
“Mana mungkin.” Aku tidak tahu apakah benar kehamilan pertama enam belas minggu bisa merasakan gerakan? Sejauh yang kutahu, delapan belas minggu—“Lui, hentikan!”
Lui terkekeh dan menjauh. Baru saja dia bersikap kurang ajar lagi padaku. Menjilat pundak sampai ke leherku. Membuatku merinding karena takut. Sensasinya berbeda dari sikap Brady yang manis. Lui lebih mengganggu menurutku. Apa Josy juga mendapat perlakuan nakal seperti ini darinya?
Hugo mendekat. Itu sebabnya Lui menjauh. Berusaha tidak canggung, kuperhatikan para ‘kakak’ yang sudah menarik kursi masing-masing untuk duduk. Mereka saling melempar teriakan, sepertinya candaan sebab tidak tampak adu tinju atau tendangan.
“Kursi akan ditambah. Brady ikut.”
Apa? Brady? Mau apalagi? “Dia ... di sini?”
“Dia akan sampai bersama Rhys. Atau bisa jadi Brady lebih dulu tiba.” Hugo mengusap puncak kepalaku. “Masih canggung?”
“Tidak,” gelengku cepat-cepat. Tidak serumit itu hubunganku dengan Brady. Tidak ada hal yang begitu membuat canggung sehingga rasanya sulit untuk bertatap muka. Tidak. Tidak sampai seperti itu.
Kurangkul lengan Hugo yang baru berani kulakukan malam ini. Mencari perlindungan dan kehangatan tulus yang telah dia tunjukkan sejak pertama kali aku datang ke sini.
“Aku serius mengharapkan kau adalah Kakakku.” Kulangkahkan kaki karena dia mengajakku turut serta, tanpa ekspresi terkejut atas tindakan spontanku yang main peluk lengannya.
“Aku memang Kakakmu.”
Tawaku pelan dan kurasakan dia menepuk-nepuk tangan yang kugunakan untuk merangkul lengannya.
“Kami akan selalu menjadi Kakakmu. Kecuali Rhys, tentu saja.”
Kembali tertawa, kuperhatikan bagaimana yang lain terlihat menatap ke arah kami. Mereka seperti menunggu, lalu kulihat Leon melambaikan tangan. Kudengar teriakan ‘cepat’ tidak sabarannya yang katanya kelaparan.
“Kau perlu memasukkan garpu ke mulutnya,” kata Hugo, terkekeh dan aku ikut-ikutan.
Kami masih berencana akan memberi pelajaran main-main pada Leon, ketika kulihat Brady melangkah dari arah samping. Melewati pintu rendah di mana yang tinggi tubuhnya lebih dari seratus tujuh puluh senti, harus merunduk. Tidak satu pun dari pria Oxley yang lolos melewati pintu itu tanpa menunduk dalam-dalam.
Untuk Leon yang tampak paling pendek dari yang lain saja sudah sangat membuat leherku pegal saat melihat ke arahnya dalam mode fokus. Apalagi Lui dan Brady, terlebih Rhys selaku pria tertinggi di keluarga Oxley. Tidak hanya kedudukan, tinggi tubuhnya pun berada di urutan teratas. Itulah kenapa saat bercinta sambil berdiri, dia akan mengangkat tubuhku agar lebih tinggi atau setidaknya tepat berada pas saat penetrasi terjadi.
“Ah, ada sepasang mantan suami istri di sini. Apa kalian bisa menelan makanan dengan baik nantinya?” sindir Leon.
Kutahu dia sedang membuat lelucon konyol. Bukan sungguhan menghinaku.
“Justru bahkan aku tidak bisa memegang sendok dan garpu dengan benar, sanking gemetar gugup karena melihat mantan istriku semakin bertambah cantik dan seksi sejak terakhir kali aku melihatnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...