Chapter 9

27.4K 2.7K 10
                                    

“Duduklah, ZeeZee.”

Tatapanku pada Giotto teralihkan. Melihat ayah yang menegurku sambil mengangkat gelasnya, menandakan bahwa dia sudah tidak sabar.

Andai aku masuk tanpa Rhys, sudah pasti bukan cuma dipermalukan, tapi juga langsung mendapat hukuman yang tidak bisa kutebak dalam bentuk seperti apa yang akan kuterima.

Rhys mengambil kursiku. Dia lebih dulu duduk, selagi tadi aku tercengang karena kehadiran Giotto Amstrong di meja makan.

Sialan!

“Duduk di sini, ZeeZee.” Wanita cantik mungil seperti putri salju itu menepuk kursi kosong di sisinya.

Oh, itu kursi milik Rhys. Terkadang dia memang duduk di kursi mana pun yang dia suka, tapi lebih sering di kursi yang saat ini dipersilakan oleh si wanita untuk kududuki.

Dan ... sok akrab apa bagaimana? Tadi di lorong dia menyapaku dengan sebutan nona, tapi di sini tanpa embel-embel itu dan terlihat santai sekali saat dia mengucapkannya.

Ah, aku tahu. Ibu telah memberinya izin untuk memanggilku dengan santai, seolah akrab. Sesuatu mungkin sudah disiapkan oleh keluargaku, terutama ayah dan ibu.

Aku tidak ingin menebak apa pun. Karena biasanya selalu di luar perkiraan.

Suara denting dari gelas yang terkena ketukan berulang dari sendok, menandakan ayah mengharapkan perhatian semua orang.

Tentu mereka yang ada di meja makan langsung diam. Fokus menatap ayah yang terlihat lebih tertarik pada putra tertuanya. Mungkin dia senang karena ada Rhys di sini, setelah sekian lama si anak kebanggaan tidak menempati kursinya.

“Hidangan utama telah disiapkan sejak tadi. Sebaiknya kita langsung nikmati sebelum dingin,” kata ayah.

“Ayo, Audy. Makanlah. Nikmati setiap hidangannya,” kata ibu. Ramah, rasanya lebih ramah dari biasanya.

Ibu melihatku rupanya, langsung berkata. “ZeeZee, nanti setelah semuanya selesai di sini, antarkan Audy untuk melihat kamarnya.”

Apa?

“Dia akan menginap?” tanyaku sambil meraih sendok dan garpu.

“Dia akan tinggal,” ralat ibu.

Tinggal? Sejak kapan ada orang asing yang bukan cuma menginap, tapi tinggal di kediaman Oxley? Wanita pula.

“Cuma untuk sementara waktu.” Wanita itu menoleh padaku, tersenyum yang bisa membuatku mengernyit. Menegaskan, tapi tidak terdengar tegas sama sekali. Senyumannya pun mengartikan banyak hal. Mencurigakan.

Aku bersikap seolah tidak peduli. Sambil mengunyah, kulirik Rhys yang tidak bicara sama sekali selagi makan. Dia sibuk sendiri. Fokus pada hidangan, sendok dan garpu, lalu gelas dan kembali berulang. Dari dulu sikapnya memang begitu saat di meja makan.

Rhys diapit oleh Hugo dan Adorjan. Mereka berdua pun sama, tidak mengajak kakak tertua untuk bicara selagi makan.

“Kamar di sebelah Rhys, bagaimana?”

Kutolehkan kepalaku untuk melihat ibu. Apa-apaan. Dia dengan santai dan lembutnya menawarkan hal itu pada si wanita yang dipanggil siapa tadi? Aku tak punya waktu mengingat namanya.

Kuharap Rhys mendengar ucapan ibu. Biar kulihat seperti apa reaksi pria kejam itu nanti, saat tahu wanita asing tidur di kamar sebelahnya. Seingatku, itu juga kamar tidurnya.

Ada tiga kamar berderet di lorong kamar Rhys. Kamar pribadi, kamar kosong yang dipakai entah untuk apa dan ruang kerja. Ketiga ruangan itu milik Rhys seorang. Tidak ada yang berani mengganggu.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang