Chapter 39

13.2K 1.6K 3
                                    

Dicekam perasaan tidak nyaman, aku merasa tegang, tapi tidak benar-benar kutunjukkan. Brady dan tatapan salah tingkahnya, lalu Rhys yang tajam dengan kernyitan di kening.

Harusnya aku yang paling ingin marah pada mereka berdua. Marah? Lucu juga. Semestinya terpikir sejak awal, bahwa ketika terpaksa menerima segala rencana yang disiapkan Rhys untuk hidupku tentu tidak akan ada yang berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Konsekuensinya pun tidak lain dan memang beginilah. Keluarga Oxley yang bukan keluargaku, membenci wanita yang mungkin mereka pungut di jalanan atau diambil dari rumah sakit, lalu dibesarkan dengan sebuah tujuan, tapi tidak mungkin dibiarkan hidup jika berani melangkah keluar dari sangkar. Aku terlalu banyak tahu tentang mereka.

“Bagaimana?” Tampaknya, Brady belum menyerah.

“Apanya yang bagaimana?” Baru kali ini Rhys terlihat mau bertindak konyol. Tatapannya justru memiliki makna.

Kening Brady mengernyit. Menatapku dan Rhys bergantian. Tidak tahan lagi memperhatikan mereka, kubuang pandangan keluar jendela. Biarlah sekarang suara mereka saja yang kudengar.

“Seperti permintaanku tadi, biarkan sekarang aku yang merawat istriku dan menjamin keamanannya sampai seterusnya. Aku berjanji, hal seperti tadi tidak akan terulang lagi.” Itu kata Brady. Bagiku, sedikit berlebihan.

Dengusan Rhys terdengar sangat jelas karena aku dan dia duduk berdampingan, malah pundak kami sempat bersentuhan. Rangkulan di pinggangku mengetat. Spontan kutolehkan kepala karena berniat melihat ada apa sebenarnya, namun terasa canggung sebab Brady juga menatap kami.

“Tanyakan langsung pada yang bersangkutan.” Jawaban Rhys mengartikan banyak hal. Tentu bertujuan khusus untukku yang kini kesulitan menentukan keputusan.

“Zee?” Brady memajukan tubuh, menatapku penuh harap. Memanggilku dengan sebutan yang kuklaim hanya dia seorang yang begitu padaku.

Rhys memang tidak perlu berkata apa pun lagi. Dia cuma diam-diam mengeratkan rangkulannya di pinggangku dengan keposesifannya.

Sehingga sekarang aku tahu harus memberi jawaban apa. Kutahan segala rasa tidak enak hati pada Brady, tapi kurasa ini bukan sepenuhnya keinginan Rhys. Aku pun mengharapkan hal serupa yang Rhys tekankan padaku secara tidak langsung.

“Aku ingin bersama Rhys saja, Brad. Bukan bermaksud menyinggungmu, tapi aku memilih bersama Rhys karena aku mau kau lebih fokus pada Audrey dan kandungannya.” Sebab aku tahu wanita itu tengah mengharap Brady memedulikan bayi yang sedang dikandungnya.

Wajah kecewa Brady memang membuatku merasa canggung, tapi kemudian kupikir, aku pun berhak atas keinginanku sendiri. Kuingat-ingat lagi, kapan aku bisa bebas menggunakan suaraku sesuai mauku? Tentu saja sekarang saatnya. Aku mampu memakainya tanpa peduli hasil akhirnya.

Mungkin karena sudah puas dengan keputusan yang kuambil, Rhys mengendurkan rangkulannya di pinggangku. Brady masih menatapku, begitu pun aku. Senyumku mungkin tidak berarti apa-apa untuknya yang diam mengatup rahang.

“Aku akan membawa ZeeZee ke rumahku.”

“Apa tidak bisa aku ikut dengan kalian?” Brady tampaknya fokus mengajak Rhys untuk mulai bernegosiasi.

“Silakan saja. Jangan lupa untuk tetap mengutamakan tanggung jawabmu yang paling utama.” Entah itu peringatan atau ancaman, nada suara Rhys sungguh bermaksud menyudutkan.

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang