Chapter 53

9.7K 1.4K 3
                                    

Mobil memasuki halaman rumah berkonsep sangat sederhana jika itu untuk standar putra-putra Oxley. Namun benar, penjagaan ketat serta sistem keamanan dijalankan seperti yang disampaikan oleh Rhys padaku.

“Kita sampai.”

Aku bermaksud bicara basa-basi pada Lui untuk menyamarkan kecanggungan tadi, saat pintu di sisiku terbuka. Rupanya—

“Hugo? Hei—” Aku panik saat setengah tubuhnya membungkuk masuk cepat, lalu mendekat dan diangkatlah tubuhku ala pengantin baru untuk keluar dari mobil.

“Hugo! Apa-apaan!” Kucengkeram kemeja di bagian dadanya. Tubuh tinggi besar tegap milik Hugo terasa luar biasa. Dia jadi mirip raksasa dan itu menakutkan menurutku. Tapi ... dia makin semakin tampan.

“Turunkan dia Hugo. Rhys akan menebas kepalamu jika dia tahu,” kata Lui. Aku mendengar suaranya di balik punggung Hugo.

“Tidak. Ini pelayanan istimewa untuk ibu hamil.” Hugo menaikturunkan alisnya sambil tersenyum padaku.

“Berita cepat tersebar, ya?” Kutanyai dia, tapi curiga sudah tentu pada Lui.

“Lui yang memberitahu kami semua.”

Aku menoleh ke asal suara. Putra ketiga, Adorjan. Biasanya, kami memanggilnya Ed. Dia setenang biasanya. Tapi jangan kira lemah lembut. Dia pernah menembak mati pejalan kaki yang tidak sengaja menendang tong sampah hingga isi dari tempat itu berceceran di jalanan. Ed sangat tidak sabaran di balik sikap tenangnya yang terlihat.

“Aku butuh pendapat kalian tentang itu.” Meluncur begitu saja perkataan ini, seolah aku memang membutuhkan komentar mereka akan kehamilanku.

“Whoa! Kehamilanmu membuat Rhys makin beringas pada kami!” Suara itu. Siapa lagi kalau bukan si mulut besar Leon. Dia tampak frustrasi sambil berteriak dengan kepala mendongak menatap langit seakan meminta hujan turun dari sana.

Jelas aku terbahak-bahak secara alami. Bagiku lucu. Tidak pernah seumur hidupku kami bisa sampai seakrab ini. Leon pun seringkali hanya memprovokasi atau menghinaku jika kami bertemu.

“Benarkah itu, Hugo?” Kutanyai pria yang baru saja menurunkanku dari gendongannya lalu didudukkan di sofa panjang lembut keabuan.

“Jangan dengarkan dia. Membual adalah bagian dalam hidupnya. Seperti tidak mengenalnya saja.” Hugo mendorongku.

Benar-benar didorong hingga tubuhku berbaring miring, lalu dibenarkan meski aku mencegah dan menolak dengan berbagai kata larangan.

“Diamlah. Ini wujud rasa senangku atas kehamilanmu.” Hugo membawa kedua kakiku lurus di atas pangkuannya. “Jangan salah paham, sungguh. Meski mereka semua selalu menganggapmu bukan adik, aku masih sama seperti dulu. Kau adikku, aku Kakakmu. Mengerti?”

Terharu. Baru kali ini aku merasakan kasih sayang tulus Hugo padaku. Dari dulu memang dia tampak penuh kepedulian yang tidak mau dia berikan padaku. Mungkin saja kupikir pada orang lain, wanita di luar sana. Andai dia kakak kandungku, sudah bermanja-manja aku padanya. Setidaknya, bolehkah aku memeluknya?

“Jangan cengeng. Hugo biasa merayu wanita. Semua gadis di jalanan terkena sihir cintanya.”

Perkataan penuh peringatan itu berasal dari kakak kembaran Lui, Ludwig. Dia berdiri berkacak pinggang di ujung sofa dekat Hugo.

Senyumku lebar saja. Tidak ada yang ingin kukatakan sebenarnya, sebab momen seperti ini tentu menjadi yang terbaik. Tidak akan terulang lagi.

“Hugo, gantian. Aku juga ingin memanjakan adikku.” Leon menepuk-nepuk pundak Hugo yang balas menepisnya dengan kasar.

“Minggir kau! Kau mau mengambil kesempatan untuk meraba-raba ZeeZee.”

“Aku saja. Aku tidak punya niat apa pun, percayalah.” Lui muncul setelah tadi entah ada di mana. Mendekati Hugo sambil menyingkirkan Leon.

“Justru kau paling mesum!” tinju Leon serius rupanya, karena Lui berhasil menangkap kepalan besar Leon dan siap beradu tendangan.

“Hei sudah!” Ludwig melerai. Berada di tengah-tengah  Leon dan adik kembarnya.

“Kami bercanda kok.” Lui menatapku, mengedip dengan seringai nakal menggoda.

“Tinjuku serius.” Leon dan ucapan serta ekspresinya memang selaras. Aku tidak tahu sejak kapan mereka sangat bermusuhan.

“Kalian sudah selesai?” Tahu-tahu kekasih hatiku datang. Melangkah cepat dan aku tidak tahu sejak kapan Hugo tidak lagi duduk di sofa dengan kedua kakiku di atas pangkuannya.

Semua diam. Bukan membisu karena ketakutan, namun seperti biasa, mereka tidak mau mencari masalah. Terutama dengan Rhys.

“Kita mulai sekarang?” Itu pertanyaan dari Ed. Mereka semua kini berada di dekat sofa. Nyaris mengelilingiku, tapi perhatianku tertuju pada Rhys yang berlulut di samping sofa, mendekatkan wajah padaku.

Ada apa? Aku tidak bisa bernapas karena ulahnya. Ditatap begitu lekat seperti akan dicium, namun bukan itu yang dilakukannya.

“Tetap di sini. Akan kubawa kau ke kamar setelah aku dan yang lain selesai berunding.” Bicaranya serupa bisikan, sangat lirih. “Aku bahkan pulang sebelum malam.”

Kepalaku mengangguk. Tak berani bicara terus terang, sebab suaraku pasti bisa didengar oleh yang lain. Sementara aku tidak mampu berucap lirih seperti dia barusan.

“Ayo ke ruang kerja Lui.” Rhys berdiri setelah mengusap kepalaku. Tidak lama, cuma sedetik.





𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang