Chapter 50

11.2K 1.5K 6
                                    

Aku tidak sempat terbawa perasaan terlalu lama. Rhys harus tahu tentang kehamilanku. Harus! Sebab hidup ini tidak menentu. Aku bukan peramal yang bisa melihat apa yang pasti terjadi besok, nanti, dua jam ke depan.

Brady sudah melepasku. Itu artinya tidak ada lagi alasan untuk terus menahan diri di sini.

“Hei, naik!”

Langkahku mundur, mengerut kening saat melihat kalau yang sedang meneriakiku bersamaan dengan kaca jendela mobil yang turun adalah Lui. Kakiku bahkan belum membawaku sampai ke gedung seberang.

Menoleh ke belakang, coba kucari-cari keberadaan Brady yang mana tahu masih memantau.

“Moon Holloway, naik!”

Nama itu asing, namun setiap kali mereka yang menyebut memanggil begitu, pasti kepalaku langsung mencari sumber suara.

“Apa bedanya pergi bersamamu dengan naik mobil yang sudah Brady siapkan untukku?” Bertanya begitu memang, namun tanganku membuka pintu dan naik tanpa ragu-ragu.

“Dia akan mengacau.”

“Aku tidak paham. Bicara yang jelas.”

Lui melirikku sekilas. Mendekat dan di detik itu juga aku sadar belum mengenakan sabuk pengaman. Saat kugapai, bersamaan dengan tangan Lui hingga kami saling tersentuh.

“Brady bisa mengulangi kesalahan yang sama.” Lui menjelaskan di depan wajahku sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuhku. “Bisa jadi sopir yang dia beri perintah malah berganti dengan orang lain. Seperti waktu itu. Kau lupa?”

“Ah, aku ingat.” Walau aku yakin Brady tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama. Dia sangat menyesal saat peristiwa itu menimpaku hingga membuat punggungku cidera cukup parah.

Dan Lui selalu asal saja main kecup. Dia mencium kening dan bibirku cepat-cepat. Sebelum sempat aku sadar bahwa dia punya niat kotor padaku.

“Kau—”

“Karena harus berhadapan dengan Rhys, aku mundur dengan cepat. Jika itu Brady, aku siap berjuang sampai akhir.”

Tidak perlu terlalu percaya diri. Lui hampir tidak pernah serius dengan ucapannya. Sekalinya bicara pasti hal-hal kasar dan tak berperasaan. Itu bentuk kejujuran versi dirinya.

“Jadi kau hamil?”

“Ya.”

“Bukan bayimu bersama Brady?”

Kulirik dia dengan kesal. “Bukan urusanmu, Lui.”

“Berarti Rhys harus melakukan tes—”

“Tidak sekalipun aku pernah bercinta dengan Brady.”

“Oh, wow!” Lui menyemburkan tawa. Baru kutahu ada sisi yang seperti ini dalam dirinya. “Itu baru berita bagus, ZeeZee. Tidak pernah bercinta dengan suamimu, namun melakukan seks berulang kali bersama kakakmu. Begitu, ‘kan?”

“Ya.” Alih-alih kesal membuang energi, ada baiknya jujur karena faktanya memang begitu yang terjadi.

“Waah, kau tahu? Kau sangat luar biasa. Itu tindakan paling berani dari seorang wanita, terutama istri. Kau sungguh menyakiti hati para perempuan alim.”

Apa hubungannya? Dasar gila!

“Andai aku di posisi itu, kurasa aku pun akan begitu.”

Barulah kutatap dia yang baru saja bicara seperti tulus, sungguh-sungguh dari hati. Bukan merasa didukung untuk berbuat buruk, aku cuma menganggap Lui berbeda dari pria-pria Oxley. Dia dan Rhys, dua yang lain. Atau sebenarnya ada yang seperti mereka berdua, namun aku tidak pernah tahu soal itu.

“Bagaimana dengan Josy? Bukankah dia juga wanita yang luar biasa?”

Lui melirik dengan ekspresi seperti menghina. “Ya, kukira awalnya begitu. Luar biasa. Dia menyukai kegiatan bercinta bertiga, adil pada pemain saat melakukannya dan tidak ada ketertarikan lain selain hanya untuk menikmati apa itu threesome, namun kurasa dia telah keluar dari batas yang dibuatnya sendiri. Pada akhirnya ... dia cuma wanita yang tergila-gila pada Brady. Menjadikan percintaan kami ternoda oleh rasa tertarik keberpihakan.”

“Justru memang dari awal aku meyakini bahwa dia sangat menyukai Brady, di luar dari hobinya pada kegiatan bercinta bertiga.”

Lui mendengus. Mengarah langsung pada sebuah area landasan pendaratan helikopter yang spontan membuatku yakin kami hanya akan terbang sebentar untuk sampai cepat di tempat tujuan.

“Kau mungkin menyadarinya karena kalian sama-sama wanita. Aku terlambat tahu soal itu.” Lui melepas sabuk pengamanku, bahkan sebelum aku ingat untuk melakukannya.

Kututupi bibirku sebagai antisipasi dari sikapnya yang main sosor seperti bebek. Tawa Lui yang kemudian pecah membahana, membuatku menyadari bahwa sepertinya aku membutuhkan lelucon dalam keseharianku yang kaku bagai batu. Belakangan ini, carut marut.

“Mau kugendong, Ibu hamil?”

“Berhentilah menggodaku.” Kutepis lengannya main-main. “Perasaanku sangat tidak tenang. Apa Rhys akan baik-baik saja?”

Kami sudah turun bersamaan dari mobil. Bertemu di sisi depan dan menatap ke arah yang sama.

“Kau siap terbang?”

“Kita akan langsung ke rumah?”

Lui terkekeh seolah membaca kecemasan dari suara dan sikapku. Oh, aku tidak gugup.

“Rhys mungkin sudah selesai berurusan dengan David dan Tessa. Kita mungkin memang harus bertemu kedua orang tua hebat itu untuk mengucapkan selamat tinggal.”

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang