“Tidak. Jangan sekarang, Rhys. Kita tunggu sampai Red tahu kalau kita harus pergi meninggalkannya karena satu alasan jelas,” kataku seiring remasan tanganku di paha Rhys.
Rhys memeluk pinggangku erat, mengusap pula perutku yang kian membesar. Lebih besar dari kehamilan sebelumnya ketika usia kandungan berada di minggu yang sama.
“Baiklah. Bagaimana maumu saja.”
Lui menghampiri kami dengan cepat. Dia berlutut di depanku, tidak menyentuhku, tapi menatapku tajam. “Satu-satunya kesempatanmu adalah saat ini, ZeeZee.”
“Dengan perut besar begini?” sinisku.
“Sudah pasti setelah kau melahirkan.” Lui serius. Tidak lepas pandangan matanya dariku. “Kau tahu, ‘kan? Ini waktu yang telah sekian lama kita tunggu-tunggu. Tidak mengampuni jiwa-jiwa yang berpikir bisa merebut kebebasan kita. Ini bukan cuma tentang kau dan Rhys juga anak-anak. Namun untuk kita semua.”
“Fokus pada minggu terakhirmu. Setelah dua atau tiga pekan pasca melahirkan, kita bisa segera berangkat.” Lui menambahkan, tampak tidak menyerah.
“Tidak, Lui. Aku tidak mau meninggalkan anak-anakku. Akan kubawa mereka ke mana pun, bersamaku.”
Lui siap membantahku dengan mulut yang sudah setengah terbuka, namun kulihat Rhys menggeleng padanya. Sedikit lega sebab suamiku berada di pihakku. Tidak memaksaku, walau aku tahu diriku ini hanyalah beban yang akan membuatnya kesulitan saat akan bergerak maju seperti katanya tadi.
Dan ... yang ditunggu-tunggu. Kelahiran bayi keduaku. Persalinan kali ini sungguh terasa lebih baik dari yang pertama. Benar-benar tenang. Aku lega, merasa nyaman. Yeva dan Hugo jadi pembesuk pertama. Mereka menjenguk sekaligus menawari tempat tinggal yang benar-benar aman untuk kami.
“Aku tidak pernah yakin Hugo akan menikah dan punya keluarga sendiri. Sungguh luar biasa dia memilihmu.”
Yeva mendelik padaku, selagi mengusap pipi bayi perempuanku menggunakan ibu jarinya. “Memangnya aku setidakistimewa itu? Sampai-sampai dia memilihku menjadi istrinya adalah suatu hal yang sangat luar biasa?”
Aku mengangguk dengan sangat yakin. Fokus mataku pada caranya memperlakukan bayiku. Dia belum berpengalaman. Menikah juga baru beberapa bulan lalu.
“Ceritanya panjang.”
Tatapanku beralih. Melihat ekspresinya yang malu-malu kucing. “Aku tidak mau mendengarnya. Kemarikan bayiku.”
Yeva mencibir dengan menggerutu cepat-cepat bibir komat-kamit tanpa suara. Dia mungkin sedang mengutukku. Dia mendekat, menyerahkan bayiku.
“Namanya?”
“Masih kupikirkan.” Mungkin sebaiknya Rhys lagi yang memberikan nama bayi kami.
“Aku saja yang memberikannya nama, boleh?”
“Anne Mariette? Tidak, terima kasih. Itu nama yang sangat pasaran.” Tolong jangan sakit hati, Anne. Sahabatku ini memang selalu suka dengan nama itu.
Yeva komat-kamit menyebalkan lagi seperti tadi. Membungkuk, memajukan bibir untuk mencium putriku.
“Jauhkan bibirmu darinya. Sana, punya bayilah sendiri!” Kualihkan si kecil ke sisi kanan, menjauhkannya dari gapaian bibir seksi Yeva.
“Hugo jarang mengajakku bercinta.” Keluhan Yeva seperti kekesalan yang siap meledak, kutilik dari suara dan juga ekspresinya.
“Berinisiatiflah sendiri, Yeva Harland. Jangan tunggu diajak, bergeraklah duluan.” Kucapit bibirnya yang malah berniat menciumku sekarang. “Enyah!”
Yeva tidak komat-kamit lagi kali ini. Dia terduduk di kursi tepat di sampingku. Berwajah murung. Berkuranglah keseksian bibirnya itu jika rautnya muram begitu.
Kususui bayiku karena mulutnya terbuka seperti mencari-cari putingku. Gadis hebat! Bahagia rasanya bisa menyusukan bayiku dalam keadaan tenang begini.
“Apa Hugo memang sedingin itu?”
“Kau menikahinya tanpa tahu soal itu?” Aku balik tanya dengan ekspresi menghina. “Sejauh yang kukenal, tidak. Rhys jauh lebih parah dari Hugo, bahkan dari semua adik-adiknya.”
“Yang kumaksud soal seks, ZeeZee. Seks!” Suaranya nyaris melengking frustrasi dengan tanganku yang menampar pundaknya seketika. Berisik perempuan satu ini.
“Suaramu, bodoh! Anakku bisa terkejut.” Menggeram dan mendelik, rasanya ingin kujambak rambut sebahunya itu. “Hugo mungkin dalam kondisi tertentu. Coba tanyakan. Jangan diam saja.”
Sudah siap banjir air mata, kucegah dia menangis dengan menunjuk bayiku yang baru saja terlelap. Mengangguk-angguk samar, dia mengerti dan duduk lesu kembali di tempatnya.
Rhys dan Hugo baru kembali ke ruangan inapku, setelah mereka berdua mungkin berbincang tentang rencana kepindahan kami ke kawasan mereka, sebab keduanya kini fokus padaku. Rupanya membujukku.
“Tidak perlu dibujuk, aku setuju ikut.”
Yeva sedang seru bermain dengan Red sampai saling cekikikan di sofa panjang sudut kamar, lalu kulirik Rhys yang menghela napas dan Hugo yang memandangiku lekat-lekat. Mungkin aku telah salah menduga.
“Aku, Lui dan Hugo akan bergerak serentak dengan Ludwig, Leon dan Adorjan yang siap menyusul kami jika terjadi sesuatu. Kau tetap tinggal bersama Yeva dan anak-anak serta Brady yang berjaga-jaga di kediaman Hugo.”
Tidak kunyatakan keberatanku karena tidak diikutsertakan. Bagaimana mungkin aku berusaha bersamanya dalam segala situasi sementara ada dua bayi kami yang lebih rentan mendapat bahaya yang seharusnya bisa dihindari.
Lalu, dua pekan selama persiapan dimulai beserta kepindahan kami yang tidak repot-repot memikirkan perabotan atau isi lemari pakaian, malam itu Rhys mengajakku bersantai di balkon kamar anak-anak, selagi keduanya sudah tertidur.
“ZeeZee, dengar ...” Rhys mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya yang tertutupi jaket parka, “sekarang kau sendirian, anggap begitu. Ini untukmu. Lindungi anak-anak kita dan dirimu sendiri. Kau bisa, ‘kan?”
Kutatapi Glock 17 yang digenggamkan ke telapak tanganku. Meski sudah biasa dengan beberapa senjata berbahaya, aku mereaksikan hal ini seperti pertanda bahwa bahaya yang akan kuhadapi lebih dari yang kutakutkan.
“Jawab aku, Sayang.”
Kutatap dia kini. Sepuas-puasnya, namun kurasa sampai kapan pun itu, tidak pernah ada kata puas. Aku mencintainya dengan segenap jiwaku, sepenuh perasaan yang kupunya hanya untuknya seorang.
“Aku bisa. Kau tahu aku bisa.” Entah senyumku terlihat getir di matanya atau tidak, tapi dengan reaksinya yang memelukku kemudian, kurasa dia pun seputus asa diriku.
“Maka jangan kecewakan aku. Tetaplah hidup. Pastikan itu, ZeeZee.”
Satu tanganku menggenggam senjata, yang kanan membalas pelukan Rhys lebih erat lagi. “Kau juga. Berjanjilah kau akan kembali dalam keadaan hidup. Berjanjilah, Rhys.”
Penekanan pada kata-kata terakhirku, mungkin membuat Rhys terdiam, tidak menjawabku.
“Jawab aku, Sayang.” Kuguncang manja tubuh Rhys dalam pelukanku. Dia tertawa pelan, lalu terasa merunduk dan menciumi leherku. Hasrat kami membara seketika.
“Simpan pistolmu dulu. Kita bercinta selagi anak-anak masih terlelap,” bisik Rhys, mesra.
Hai, hai!
Pemberitahuan!
Ada cerita baru lagi nih!
Ramaikan, yuk? Novel baruku yang judulnya
RedZee BlackStoneIyap! Itu ceritanya anak Rhys dan ZeeZee. 😁
Ayo ramaikan dengan vote dan komentar serta jangan lupa masukkan ke perpustakaan kalian!
Ditunggu, ya? Salam hangat! 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...