Mau! Mau! Tentu saja aku mau. Tidak perlu menipu diri sendiri. Cukup mengakuinya dalam hati. “Aku memang—”
“Dokternya sudah di sini.” Suara Brady dan ketukan pintu bersamaan terdengar.
Terang-terangan kutunjukkan kekecewaanku karena pemberitahuan itu. Selagi aku merasa kesal, Rhys mendekat, menciumku bertubi di seluruh wajah sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. Pembicaraan kami menggantung begitu saja.
Saat pintu dibuka, Brady lebih dulu terlihat. Melangkah melewati Rhys dan ada seorang pria lain yang ikut masuk.
“Katakan bagian mana saja yang masih ....”
“Coba luruskan kaki Anda, lalu ....”
Dialog mereka seperti tumpang tindih bagiku yang saat ini haus akan belaian dan ciuman dari Rhys. Mulutku bergerak untuk menjawab singkat setiap pertanyaan dari dokter yang memeriksaku.
Tatapan mataku mungkin hampir sepenuhnya fokus pada Rhys. Aku bahkan tidak peduli ketika Brady mengikuti arah pandanganku. Dia seharusnya mengerti. Kami semestinya bermain adil. Aku berpikir, sepertinya aku telah berubah.
Pemeriksaan singkat itu berakhir dalam—aku tidak ingat. Pokoknya singkat. Aku masih menginginkan Rhys, tapi pria itu malah pergi meninggalkan ruangan bersama si dokter.
“Haruskah aku tidur di sini untuk menjagamu?” Brady duduk di tepi ranjang, tepat di sisiku.
Senyum palsuku sepertinya terlalu kentara. “Kalian berdua bisa tidur di sini untuk menjagaku.”
Ekspresi wajah Brady tidak terbaca. Dia mengusap-usap tengkuk, lalu mengernyit menatapku. “Apa aku tidak bisa dimaafkan?”
“Soal apa?” Serius, aku bingung kenapa dia harus merasa seperti itu.
“Kau tidak perlu menutupinya. Aku tahu kau kecewa padaku.”
Hoo ... soal penyebab dari perdebatannya tadi dengan Rhys mengenai keselamatan diriku? Sama sekali tidak! “Kecewa untuk apa, Brady?”
“Kau sungguh tidak tahu?”
“Mana aku tahu kalau kau tidak memberitahuku.”
Helaan napas Brady terdengar kasar. Dia memalingkan wajah dariku dan bergumam tidak jelas. Sampai akhirnya menatapku lekat-lekat. “Aku lalai dalam menjagamu. Seharusnya, aku sendiri yang menjemputmu alih-alih menunggu di restoran tempat kita akan makan malam romantis.”
Karena yang kubisa masih sebatas gerakan pelan dan seadanya, kuusap lembut perlahan punggung tangan Brady. Kami diam, saling tatap lalu aku akan memberitahunya. “Kau sudah sangat menjagaku selama ini, Brady. Tidak ada yang perlu kau sesali. Dan tak perlu minta maaf.”
Brady menoleh ke pintu dan mungkin itu firasatnya atau memang kebetulan, bertepatan dengan Rhys yang kembali masuk.
“Saatnya istirahat, ZeeZee.” Rhys mengabaikan keberadaan Brady di sisiku. Menyalakan lampu tidur lebih dulu, lalu melangkah memadamkan penerangan seluruh ruangan.
Sudah kujauhkan tanganku sejak tadi dari Brady. Memang tolol, aku lebih takut pada pandangan Rhys terhadapku, daripada Brady yang kubiarkan bebas berpikir negatif tentangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...