Chapter 64

10.5K 872 7
                                    

Kusaksikan sendiri kala itu. Namun tidak untuk kuceritakan pada dua anakku yang sudah mulai memahami bila diberi pengertian. Kuputuskan bersama dengan Rhys, bahwa masa lalu kami hanyalah kisah yang tertulis di buku rahasia milik kami berdua. Pun orang-orang terdekat membantu melewati bagian ‘tidak penting’ itu menggunakan hal lain, cerita baru.

Lagipula, segala bentuk kehidupan akan berakhir dengan kematian. Tinggal menunggu. Caranya yang berbeda-beda. Keyakinanku, meski dalam drama, novel atau film sekalipun, tidak ada akhir cerita yang benar-benar tuntas. Selalu ada misteri yang tersisa. Apalagi kenyataan hidup yang dijalani, jelas membingungkan dan tidak mungkin tertata sesuai keinginan hati.

“Jadi mereka sudah lama meninggal?” Jean, mungkin karena dia anak perempuan, perasaannya jauh lebih peka, penasaran dan tentu saja jadi banyak bertanya.

Rhys mengangguk. Cuma itu saja gerak kepalanya. Mengangguk kalau iya, menggeleng jika tidak. Meski begitu, Jean tidak mengenal kata menyerah atau bosan padahal ekspresi ayahnya sudah sedemikian rupa.

Jean satu-satunya gadis yang paling berani mendekat pada Rhys, meski suamiku itu sedang marah sekalipun. Dan ... sejauh yang kulihat, Rhys pun tidak masalah soal itu. Membiarkan putrinya tumbuh menjadi dewasa dengan cara yang normal. Cara yang tidak pernah kami lalui semasa kecil, hingga dewasa. Semua anggota keluarga Oxley begitu, kehilangan masa muda yang wajar dan indah untuk dikenang.

“Di mana kakakmu?” Aku yang bertanya. Meremas pundak Jean pelan pertanda bahwa sudah saatnya dia berhenti bertanya soal ‘kakek dan nenek’ yang tidak dia miliki sejak dilahirkan.

“Masih tidur, ‘kan? Begitu sampai rumah dia langsung masuk kamar.” Nada kesal Jean terdengar jelas. Mereka tidak akrab, tentu saja.

Rhys menatapku sejak tadi rupanya. Dia berharap aku naik ke lantai dua untuk menyapa putra sulung kami alih-alih dia yang seharusnya melakukan itu. Bukan gengsi, bukan. Rhys hanya merasa bahwa setiap kali mereka berkomunikasi antara satu sama lain, jarak kedua laki-laki beda generasi itu akan semakin terbentang, jauh.

Red bukan terpaksa, namun aku dan Rhys merasa memang harus dibiasakan hidup seperti yang kami sepakati dulu, bahwa dia mungkin akan mendapatkan bahaya jika ada sisa-sisa pendukung David dan Tessa yang masih mengincar anak-anak kami, terutama Red si sulung yang telah lama hidup terpisah dari kami.

“Aku ke atas,” kataku pada Rhys dengan angguk dan senyum. Yang berniat kudatangi ketika sampai, rupanya baru saja membuka pintu dan sama-sama terkejut saat bertemu muka.

“Mau ke mana?” Aku tersenyum, menatapnya lembut dan selalu berusaha belajar memahaminya. Dia sedang dalam masa yang sulit. Terlalu cepat dewasa, dipaksa keadaan untuk mengerti lebih dari yang bisa kami—aku dan Rhys—harapkan darinya.

“Uncle Hugo mengajakku berburu.”

Jangan! Namun aku cuma tersenyum. Berat kepalaku mengangguk. Tidak pernah tegas pada Red, bukan berarti aku menuruti semua hal berbahaya yang ingin dilakukannya bersama keluarga ayahnya.

Rhys bahkan tidak berkomentar apa pun, tiap kali Lui atau yang lain melaporkan perihal rasa penasaran Red atas penggunaan senjata api dengan mempraktikkannya sepekan sekali. Bergantian mereka semua mengajari putraku yang seharusnya menekuni sepak bola, basket atau renang seperti remaja normal seusianya.

“Kita semua bahkan sudah memegang pistol saat masih bocah.”

Rhys benar soal itu. Namun bukan berarti aku mengiyakan dengan mudah saat Jean pun akan siap menyusul kakaknya segera.

“Itu uncle,” kata Red, bersiap turun. Sudah memelukku sekilas tubuh tinggi tegap itu, lalu tersenyum padaku. “Rusa atau babi hutan?”

Tawaku berderai seketika. Kutahan lengannya kuat-kuat sambil menatap matanya. “Apa saja. Cukup satu ekor, lalu pulang untuk makan malam tepat waktu bersama kami.”

𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang