Tubuhku nyaris terpental, jika tidak menahannya pada bagian belakang kursi depan. Kepalaku terantuk kuat, pusing seketika. Tidak dapat merasakan apa pun selain—“Akh!”
Pintu mobil terbuka spontan selagi keadaan seperti berputar-putar. Tarikan kuat kurasakan di tangan kananku, rasanya sakit saat dicengkeram dan dihempas—oh, aku tahu dia siapa. Kakakku yang lain. Lui. Luigi Dimitri Oxley.
“Kau bodoh? Kau buta? Kenapa ikut dengan pria yang tidak dikenal?” Belum apa-apa, aku sudah dibentak. “Tetap di sini.”
Aku menurut, meski diam bahkan tidak mengangguk. Fokus membuka mataku lebar-lebar agar bisa memperhatikan aksi Lui. Bagaimana dia akhirnya menghampiri pria yang membawaku di mobil Brady tadi. Sebelum pria itu sempat menembak, kaki panjang Lui menendang tangannya. Aku memang terbiasa dengan keahlian bela diri semua kakakku, tapi tetap menyenangkan bila menonton secara langsung dan nyata seperti ini.
Luigi membanting tubuh si pria tegap ke bagian depan mobil. Punggungnya membentur kaca, tapi benda itu tidak pecah. Tubuh si pria seolah terlempar seperti cicak disentil. Sumpah serapah Lui mengisi kekosongan udara yang kulihat hanya hamparan ilalang kering sejauh mata memandang.
Kami entah berada di mana. Aku tidak bisa menebak dan tidak pernah tahu wilayah mana yang sedang kami datangi. Bukan kudatangi, tapi dibawa paksa sampai ke sini.
Dan door! Lui berhasil menembak tepat di kepala si sopir yang langsung tumbang seperti pohon yang ditebang. Mataku nyaris tidak berkedip menyaksikan pertunjukan Lui. Menurutku, dia sangat berbakat. Memang mungkin tidak sehebat perkiraanku, tapi posisinya selalu berada di atas rata-rata.
Aku ingin bertanya padanya, tapi suara tembakan susulan membuatku tersentak ke belakang. Jatuh terduduk, lalu sesegera mungkin kuseret diriku menjauh dari tempat asalku berdiri menonton Lui.
Kucari-cari asal suara tembakan yang tadi seperti peringatan untuk kami. Melihat juga ke arah Lui berada, tapi pria itu sudah tidak ada. Sialan. Dia meninggalkanku sendirian di sini?
Terus mundur mencari tempat bersembunyi, aku sungguh tidak sempat menerka-nerka tempat apa yang kupijaki saat ini. Dihinggapi perasaan ganjil, aku menoleh—oh, hei! Aku terpeleset. Suara tembakan keras terdengar selagi tubuhku berguling-guling dari tempat yang rasanya tinggi, terus turun. Mirip bola yang menggelinding, namun bukan di permukaan rata.
Yang rasanya seperti siksaan ini berakhir ketika punggungku menghantam sesuatu yang keras, tapi bukan batu. “Akh!” Sakit, sumpah. Demi apa pun, rasanya bagian belakang tubuhku seakan dilepas. Dicabut paksa.
Di lubang. Ya bisa jadi jurang, tapi menurutku bukan. Tapi permukaan rasanya tidak terlihat. “Lui!” Spontanitas. Aku cuma punya dia saat ini di sini.
“Lui—akh! Aduh, aduh.” Mampus. Ini sakitnya luar biasa. Menangis sekeras apa pun tidak akan membuatku merasa lega, justru bertambah sakit pastinya.
“ZeeZee!”
Lui! “Lui, aku di bawah sini!” Melambai heboh, aku terus memanggil namanya, tapi—“Aduh!” Sakit, sakit. Betapa sulitnya aku menggerakkan diri. Sedikit saja tubuhku bergerak, punggungku kesakitan. Rasanya kaku, patah-patah dan remuk. Entah seperti itu rasanya, tapi ini sungguh menyakitiku. Aku tidak bisa terlalu banyak bergerak.
“ZeeZee! Jawab aku!”
“Lui! Aku di bawah sini. Apa kau—aduh! Apa kau ...” Aku mulai kesulitan bernapas. Sesak, berkeringat dingin dan pandanganku tidak fokus. Semua seolah berputar. Gema kudengar suara Lui memanggilku. Tidak ada yang bisa kurasakan selanjutnya, selain perasaan seperti kaku, kebas dan tidak dapat bergerak.
“... bangunlah.”
Mataku terbuka lebar, tapi aku ingat dalam sekejap, bahwa punggungku cedera. Terbentur batang kayu besar setelah berguling-guling dari ketinggian.
“Hei, katakan. Apa yang kau rasakan?”
Itu Lui. Dia bertanya dengan raut cemas, suara ketus.
“Kau menyusahkan, tahu? Cepat jawab! Ada yang masih sakit? Di bagian mana?” Dia mungkin mengira aku tidak tahu bahwa di balik sikap kasar dan nada keras, wajah paniknya tidak mengubah apa pun bagiku. Seorang Lui peduli padaku.
“Kita di mana?”
“Kau tidak perlu tahu. Jawab saja yang kutanya.”
“Aku ....” Memang masih terasa sakit, tapi—oh, sekeliling tubuhku, bagian dari dada sampai perut diperban. Kuraba pelan, namun Lui menarik tanganku.
“Tubuhmu dibaluri ramuan. Jangan sentuh dulu.”
“Siapa yang melakukannya?” Mendadak aku panik. Pastinya bra-ku dilepas terlebih dulu sebelum diperban seperti ini. Sudah tentu pakaianku juga diganti—wah, kain ini tipis sekali. Seperti jubah, tapi tidak layak disebut penutup yang pantas.
“Tidak perlu kesetanan begitu. Bukan aku yang melakukannya. Aku tidak mungkin mau melihat tubuhmu yang tidak ada menariknya sama sekali.”
Itu menurutmu. Kau tidak tahu saja kalau kakak tertuamu begitu tergila-gila akan tubuhku. “Ya, ya aku tahu. Jadi, siapa yang melakukan ini padaku?”
“Seorang tabib wanita.”
Huft! Lega mendengarnya. “Lalu kita ada di mana sekarang?”
“Jawab dulu yang kutanya.” Keras kepalanya mirip denganku.
“Masih agak sakit di punggung kalau aku bergerak.”
“Bagian lainnya?”
“Tidak ada,” gelengku cepat. “Sekarang giliranmu. Jawab aku. Di mana kita sekarang?”
“Jauh dari rumah.”
Bercandamu lucu sekali. “Kau sudah memberitahu Brady?”
“Beritahu saja sendiri.”
Kalau bukan karena dia yang menolongku, biarkan kupukul wajahnya sekali saja. Sejak kejadian Josy menerobos masuk kediaman Stoker untuk protes pada Bryan, Lui jadi cerewet setiap kali melihatku. Dia penjahat sesungguhnya.
“Ponselku dibuang oleh pria yang kau tembak.”
Dia melirikku. Tatapannya selalu tajam, tapi sekarang mulutnya pun ikut-ikutan. Coba dengar apa jawabannya.
“Ya sudah. Kau tidak perlu memberitahunya.”
Kalian dengar? Sungguh kalau bukan karena dia yang menolongku, akan kulakukan apa pun untuk mencuri ponsel miliknya.
“Kau cemburu, ya?” Mari provokasi Lui. Siapa tahu dia marah dan memberikan ponselnya padaku. Aku perlu menghubungi Brady atau Rhys kalau bisa.
“Padamu?”
Nada menghinanya itu kutanggapi dengan senyum. “Ya, padaku. Karena aku menikahi pria yang jadi rekan threesome-mu. Kau masih tidak terima itu, ‘kan?”
Lihat, lihat. Dia sedang menahan diri. Menahan untuk tidak emosi apalagi sampai memukulku yang kini tengah terluka.
Senyumku berubah menjadi panik, saat Lui mendekatkan wajahnya padaku. Punggungku masih kaku dan sakit, jadi—hei, hei! Lui menciumku. Menempelkan bibirnya di bibirku. Kucengkeram lengannya, berusaha mendorong, tapi kesakitan hebat menjalari keseluruhan tubuhku.
“Buka mulutmu, ZeeZee.” Dia terengah. Matanya sayu menatap bibirku.
“Tidak. Aku salah karena telah mengganggumu. Jadi menjauhlah, aku tidak akan mengusikmu la—mmphh!” Kucakar karena memukulnya membutuhkan tenaga dan hal itu membuat punggungku sakit.
Aku kehabisan napas. Lui berengsek! Ciuman Lui berubah lembut. Menghisap bibir bawahku yang kuyakin kini menjadi bengkak.
Dia berhenti saat cakaranku di lengannya berakhir. Wajahnya masih sedekat nadi denganku. Tidak ada seringaian, tidak ada raut kesal apalagi tatapan mata yang tajam. Dia sungguh memandangiku tanpa semua itu. Terkesan ... lembut.
“Kenapa kau lakukan ini padaku? Aku—”
“Kau bukan adikku. Apa pemberitahuanku sebelumnya tidak jelas untukmu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐗 𝐁𝐑𝐎𝐓𝐇𝐄𝐑
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐝𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚! ❝𝐌𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐬𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐠𝐚𝐢𝐫𝐚𝐡𝐦𝐮 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐤𝐮.❞ ―𝐑𝐡𝐲𝐬 ❝𝐊𝐚𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐢𝐧𝐢 𝐀𝐝𝐢𝐤𝐦𝐮!❞ ―𝐙𝐞𝐞𝐙𝐞�...